#WooSan


Amicus Ad Aras


Starring: 1. Jung Wooyoung as Diono Antares Juwono (Dion) 2. Choi San as Michael Sandiaga Kurniawan (Saga)


4 Tahun yang lalu, Dion dan Saga pertama kali bertemu satu sama lain di acara pertandingan Taekwondo di ajang bergengsi sekelas Pekan Olahraga Nasional. Dion sebagai penonton, Saga sebagai atlet Taekwondo. Saga nggak menyangka ada anak kampusnya yang akan menonton dan memberi support padanya. Pasalnya, kebanyakan orang akan lebih memilih menonton pertandingan cabang olahraga populer seperti Basket dan Voli ketimbang Taekwondo.

Makanya, waktu Saga berhasil menyabet medali emas dan ia mendengar teriakan antusias dari seseorang di bangku penonton, ia langsung bergegas mengedarkan matanya, mencari sosok itu. Seketika itu juga, usai upacara pemberian medali, Saga langsung berlari menuju tribun penonton buat nyamperin sosok yang neriakin dia.

Dan sampai di Tribun, Saga kaget banget, soalnya sosok yang memberikan teriakan paling meriah buat Saga adalah sang primadona kampus, Diono Antares Juwono. Wira berperawakan tak terlalu tinggi yang akrab disapa Dion ini memberikan cengiran tak berdosanya pada oknum yang baru muncul di tribun dengan dobok putih dan sabuk hitam kebanggaannya.

'Selamat ya,' Dion mengacungkan tangan kanannya.

'Makasih,' Saga tersenyum dan menyambut tangan Dion dengan jabatan.

'Gue Dion,' Dion memperkenalkan dirinya.

'Siapa sih yang ga tau Diono Antares Juwono,' kekeh Saga. 'Gue Saga.' Saga membalas perkenalan singkat itu.

Ya, siapa yang nggak ngenalin Dion. Dia adalah salah satu mahasiswa terpopuler di kampus. Dion yang selalu cengengesan di seluruh kesehariannya akan berubah 180 derajat kalau menari, meliuk-liukkan badannya di atas panggung.

Itulah pertemuan pertama Dion dan Saga yang membawa mereka ke sebuah persahabatan yang begitu indah yang selalu memperoleh tatapan cemburu dari semua orang. Siapa yang nggak cemburu dan mupeng kalau punya sahabat seperti Saga maupun Dion. Kemana-mana bareng, Kalau Dion sedih, Saga selalu ada buat mendengar keluh-kesah Dion. Kalau Saga lagi patah semangat, selalu ada Dion yang menyemangati dan memberikan support bagai cheerleader pribadinya Saga, dan begitu sebaliknya dari Saga ke Dion.

’Gue nggak tahu apa jadinya gue kalo nggak ada Dion’ -Saga

‘Kalo nggak ada Saga, gue ga akan bisa skripsian tahun ini,’ – Dion


Persahabatan mereka awet sampai sekarang, tahun ke-4 alias tahun terakhir perkuliahan mereka. Saga dan Dion sama-sama sibuk mempersiapkan seminar proposal dan sudah mulai nggak aktif di kegiatan non akademis. Sebenarnya, persahabatan mereka nggak berbeda dengan persahabatan orang lain, gak terhindar juga dari perselisihan. Nggak jarang keduanya berselisih pendapat. Kadang bahkan berujung Saga mendiamkan Dion selama beberapa hari sampai Dion berinisiatif buat ngajak Saga baikan.

Selain itu, keduanya sering banget terlihat mendekam di perpustakaan kampus untuk menyelesaikan tugas akhir. Nggak jarang Saga yang sensitif dan terlalu moody itu menangis karena kena serangan panik kalau sudah jadwalnya bimbingan dengan dosen. Kadang, kalau merasa penat dan butuh teman, Saga bakalan minta izin menginap ke apartemen Dion, begitu pula dengan Dion. Dimana ada Dion, pasti ada Saga. Dimana ada Saga pasti ada Dion.

Mereka berdua punya slogan persahabatan, “Amicus Usque Ad Aras” atau disingkat “Amicus Ad Aras” arti singkatnya, Sahabat sampai maut memisahkan. Tapi, tanpa mereka sadari, diantara mereka berdua ada rasa yang lebih dari sekedar besties. Kedua pasang manik coklat itu tak akan pernah bisa bohong kalau sudah saling menatap satu dengan lainnya. Orang bilang, mata nggak bisa bohong, ya itu memang benar terjadi. Kalo ada anak cewek yang mendekati salah satu dari mereka, apa lagi sampe beliin barang atau beliin kopi. Pasti langsung dihadiahi tatapan sinis dari keduanya.

Hal itu baru terjadi siang tadi, waktu Saga dan Dion baru aja masuk ke café di depan kampus dan Baristanya tiba-tiba ngasih kopi gratis ke Dion. Yang kenal deket sama Saga dan Dion tau banget saat itu walau nggak terlalu kelihatan kasat mata, Saga bete berat pas liat si mbak barista kedip-kedip centil. Habis ngambil ice americanonya di konter pick-up, Saga langsung jalan cepet keluar dari café sambil manyun.

‘Ga, Saga! Tunggu dong,’ Dion membawa minumannya sambil berlari kecil mengejar Saga yang berjalan cepat dan memasang wajah bete.

‘Saga!’ seru Dion sambil menghentikan langkahnya. ‘Lo kenapa sih?’ tanya Dion yang akhirnya bisa menghentikan langkah Saga.

‘Mbaknya cantik, ya,’ cecar Saga sambil memasang tampang kesal.

‘Gue nggak suka dia, Ga. Udah dong, please. I can’t stand you’re getting mad at me,’ Dion menghela nafasnya.

Saga menghela nafasnya, ‘I ain’t mad,’ Saga menyanggah.

‘Apaan lo nggak marah tapi manyun-manyun gitu,’ kekeh Dion sambil menyesap kopinya.

‘Lo tau nggak sih dia flirting ke lo, Yon?’ tanya Saga sambil menggigit sedotan yang ada di mulutnya.

‘Are you jealous about it?’ tanya Dion sambil melempar senyum jahilnya pada Saga.

‘Nggak tau,’ Saga mendengus dan membalik badannya, kembali berjalan cepet.

‘Ya allah, kenapa Saga harus gemes banget kayak gini sih?’ tanya Dion dalam hati sambil mengejar sahabatnya. ‘Saga STOP! You haven’t answered my question,’ seru Dion sambil menghentikan langkahnya. Membuat Saga berhenti dan menoleh balik menghadapnya.

‘Yon, gue capek, nanti kita bahas lagi kalo sampe apart lo ya,’ Saga hanya menghela nafasnya lagi. Sesungguhnya ia lelah kalau harus ngambek pada Dion terus seperti ini tapi gimana, Saga masih malu mengakui kalau ia jealous sama barista tadi.

Memang benar, banyak hal yang menolak berhenti membebani pikiran dan mengkonsumsi sebagian besar energi dari pemuda yang biasanya selalu penuh semangat dan senyum itu. Itu cukup jadi alasan buat pemuda Kurniawan ini untuk melampiaskan beban pikirannya melalu gerak-gerik kecil yang menunjukkan kalau ia nggak suka sama tingkah mbak Barista tadi.

Pada akhirnya, sesungguhnya Saga suka sama Dion, lebih dari sekedar sahabat yang selalu nempel dan bersama kemanapun mereka pergi. Saga nggak mau mengakui perasaannya pada Dion karena ia takut kehilangan sosok Dion yang selalu mendampinginya. Ia takut kalau ia terang-terangan mengakui perasaan itu, Dion malah berbalik dan meninggalkannya.


Sampai di apartemen milik Dion, Saga masih diam seribu bahasa, ia menyibukkan diri dengan memasukkan barang-barang belanjaan grocery yang mereka bawa ke dalam kulkas sementara Dion duduk di sofa sambil memindah-mindah kursor di layar smart tv nya, mencari drama atau film yang mau ditontonnya dengan gusar. Masalahnya, Saga masih belum membuka mulutnya dan berbicara tentang apapun dari semenjak kejadian di parkiran siang tadi.

Saga memang menghabiskan malam ini dan besok malam di apartemen Dion, tapi kalau diam begini terus, Dion juga tak nyaman. Soalnya, biasanya Saga selalu lively. Ngajak Dion nonton apa kek, di Netflix. Mencetuskan ide masak dari tutorial memasak yang ditemukannya di platform youtube, bahkan sampai mengajari Dion teknik dasar Taekwondo. Beneran serandom itu dan itulah yang membuat Dion betah berlama-lama bersama sahabatnya itu.

‘Ga, ngomong dong, please?’ Dion beranjak dari sofa, menghampiri Saga yang masih sibuk di dapur.

‘Ga, jangan marah dong, please,’ Ujar Dion dengan manja sambil memeluk pinggang Saga, menghentikan wira berambut coklat-keunguan itu berhenti dari aktivitasnya mencuci buah-buahan dan sayur yang hendak ia masukkan ke dalam kulkas.

Saga terpaku waktu Dion memeluk pinggangnya. Sebenarnya itu sudah biasa dilakukan oleh Dion padanya, tapi kali ini, perasaannya semakin kuat. Saga nggak bisa bohong kalau ia sungguhan memendam rasa pada sahabatnya itu. Terbukti dari denyut jantungnya yang meningkat drastis sehingga muncul notifikasi di smart watch dan ponselnya mengenai denyut jantungnya yang cukup tinggi.

‘Yon, I’m sorry I got jealous,’ Saga pun akhirnya luluh dan mengakui kalau dirinya cemburu dan kesal pada tingkah si mbak barista tadi siang.

‘It’s okay. Nggak papa,’ Dion tersenyum sambil melepas pelukannya.

Saga menatap wira yang masih tersenyum dihadapannya itu. Sedetik kemudian dia merengkuh tubuh Dion yang tak terlalu tinggi itu ke dalam pelukan hangatnya. Dion bisa merasakan bagian pundak piyamanya basah oleh air mata Saga.

‘Ga, kenapa?’ tanya Dion saat menyadari perubahan pada ritme nafas sahabatnya. Tangannya automatis membelai punggung Saga untuk menenangkan sang wira yang beberapa cm lebih tinggi darinya itu. Alih-alih menjawab pertanyaan Dion, saga hanya diam seribu bahasa sambil menangis.

‘Maaf,’ hanya itu yang keluar dari bibir merah jambu milik Saga.

‘Maaf kenapa, Ga? Lo nggak salah apa-apa sama gue,’ Dion melepaskan peluknya, berusaha menatap sepasang orbit coklat milik Saga.

‘Maaf gue nggak bisa bohong sama perasaan gue…’ Saga berujar pelan sambil menatap balik mata pujaan hatinya.


[to be continued]