#WooSan


Love Has No Specific Shapes, Colors and Genders


‘Maaf gue nggak bisa bohong sama perasaan gue…’ Saga berujar pelan sambil menatap balik mata pujaan hatinya.


Sebuah pengakuan meluncur dari mulut Saga yang masih mengusap wajahnya dengan lengan sweaternya. Hal itu membuat senyum merekah di wajah Dion. Jadi, dari tadi Saga tuh nahan nangis karena nggak mau ngaku kalau dia cemburu dan nggak tahan lihat cewek-cewek mendekati Dion.

‘Ga, gua nggak suka cewek, lagi,’ aku pemuda 173 cm itu sambil nyengir dan mencubit pipi Saga.

‘Hah?’ Saga menautkan alisnya, bingung dengan pengakuan Dion barusan.

‘Iya, gua nggak tertarik sama cewek, mau se seksi apapun mereka, secantik apapun mereka, gue nggak akan melihat mereka di masa depan berdampingan sama gua sampe tua nanti,’ jelas Dion sambil tersenyum. Manis banget sampai-sampai ingin banget Saga memeluk dan mengecup bibir Dion.

Ya Tuhan, senyumnya manis banget, boleh gue cium ga sih? Pikir Saga.

‘Kalo gue ngaku sekarang, lo bakal jauhin gue nggak, Yon?’ tanya Saga sembari menatap lawan bicaranya lekat-lekat.

Bisa dipastikan saat itu, baik wajah Dion maupun saga bersemu kemerahan. Saga menghirup banyak oksigen kedalam paru-parunya dan menyusun kalimatnya agar dapat dipahami lawan bicaranya.

‘Saga, lu mau ngaku apa?’ tanya Dion. Alisnya tertaut saat menatap wajah lawan bicaranya, Dion bingung.

‘What if I want to be more than just a best friend to you? What if I want to be your life companion up until the altar?’ tanya Saga sambil menangkup wajah Dion dengan kedua tangannya. ‘Gua butuh lo, gua nggak mau kehilangan lo,’ Saga menatap mata Dion dalam-dalam.

Dion bisa merasakan detak jantungnya membuncah saat itu. Tatapan mata Saga, segala ucapan Saga membuat irama detak jantungnya bak irama lagu rock saat itu. Wajahnya memerah. Pemuda kelahiran November 1999 itu kemudian menarik Saga dan menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah layaknya kepiting rebus di dada Saga yang bidang. Tangannya melingkar di pinggang Saga erat-erat.

‘Yon,’ panggil Saga sambil terkekeh melihat kelakuan sahabatnya.

‘Sagaaa kan gue malu diliatin gitu terus sama lo,’ celetuk Dion tanpa melepas pelukannya. Dion masih kekeuh menyembunyikan wajahnya yang memerah di dada Saga. Belum lagi jantungnya yang lagi dalam kondisi bloom-bloom pow. Mana mungkin ia membiarkan Saga menjahilinya saat pria tampan berambut coklat-keunguan itu melihat wajahnya yang memerah itu.

‘Liat sini dulu,’ Saga masih berusaha mencari kedua mata Dion dan menatap kedua manik coklat itu dengan lembut. ‘Kemanapun, sejauh apapun gue berlayar, gue tau gue cuma bisa berlabuh waktu gue sama lu,’ Saga menangkup wajah pujaan hatinya dengan kedua tangannya, membuat pipi Dion makin bersemu merah. Apa lagi waktu tiba-tiba, tanpa aba-aba, Saga membungkuk, makin mendekat, memotong setiap inci jarak diantara keduanya dan mendaratkan bibir merah jambunya di atas bibir Dion.

Sementara itu, mata Dion membelalak, kaget akan kejutan yang diberikan oleh Saga secara bertubi-tubi dan juga terkejut sama tindakan Saga barusan. Tapi perlahan, matanya terpejam, menikmati setiap gestur yang diberikan oleh Saga. Bibir Saga terasa hangat dan manis, begitu rasa yang terekam di otak Dion. Rasanya, Dion nggak mau melepaskan ciuman itu. Sayangnya nafas keduanya sudah mulai habis dan barang-barang belanjaan masih menunggu untuk dirapikan. Keduanya akhirnya melepaskan tautan diantara keduanya dan tersenyum manis banget.


‘Jadi, Yon. Mau nggak jadi pacar gue?’ tanya Saga sambil membelai rambut Dion yang diwarnai dengan style peek-a-boo.

Seusai merapikan belanjaan mereka ke dalam lemari dapur dan kulkas, kedua pemuda tampan itu duduk di sofa ruang tengah sembari menikmati cemilan yang dibuat oleh Saga dan sekaleng minuman bersoda.

Alih-alih menjawab pertanyaan Saga, Dion melingkarkan kedua lengannya di pinggang Saga dan mengecup pipinya malu-malu. Saga terkekeh sambil mengecup puncak kepala Dion.

Semua gestur kecil dari Dion adalah afirmasi bahwa Dion menjawab perasaan Saga dengan jawaban yang sama. Ia nggak bisa hidup tanpa Saga. Untuk sekali seumur hidupnya, ia mau hidup bersama dengan Saga, sampai maut memisahkan mereka. Sahabat sampai di altar. Suatu saat nanti, Dion berharap Ia bisa menjadi pendamping Saga, untuk selamanya, sampai maut menjemput.

‘I love you, Dion,’ Saga menyandarkan dagunya di atas kepala Dion seusai mengecup kening pemuda yang sedikit lebih muda darinya itu.

*'I love you too, Sandiaga,' Dion tersenyum sambil menatap Saga dengan tatapan penuh afeksi.

Akhir yang indah, bukan? Pada akhirnya Saga itu rumahnya Dion, Dion juga rumahnya Saga. Kalau katanya sahabat nggak mungkin jadi pacar? Saga sama Dion tuh contoh nyata temen tapi pacaran.

Mungkin bakalan banyak halang-rintang dalam kehidupan mereka. mungkin, hidup mereka nggak akan lurus-lurus aja. tapi semoga, awal indah ini mengawali seluruh lika-liku kehidupan yang akan kalian jalani berdua nanti ya, Saga, Diono.


FIN