The Morning Sun


Bagian 2 dari kisah Christian Sanjaya Sadawira dan Maira Julianne Wijayanti


Langkah kaki kita dalam sinkron lagi hari ini Begitu panas, sekali lagi hari ini, aku meleleh Selalu, kau membuatku menjadi diriku sendiri Seluruh diriku mulai denganmu, setiap hari – SF9: O Sole Mio


Masih lanjutan dari sore itu, alias waktu Indonesia bagian Sanjaya Merindu. Tidak ada yang salah dari merindu. Tidak ada yang salah dengan mencinta. Tapi, seperti pepatah Inggris, ‘When there is a Hello, there’s always a Goodbye’, Ketika ada pertemuan, pasti akan ada perpisahan, kita nggak tahu kapan perpisahan itu akan dan harus terjadi, kita harus siap dengan fakta bahwa suatu saat kita akan berpisah dan pasti di masa depan, akan ada pertemuan berikutnya dengan orang yang lain. Ara hadir untuk mengajarkan hal itu pada Sanjaya. Meski ia hanya hadir di jendela waktu yang begitu singkat dalam hidup Sanjaya.

‘Kemarin gue ketemu sama bokap-nyokap nya Ara, mereka cerita kalo sebelom Ara di oprasi, dia donorin korneanya. Dan dua tahun yang lalu, kornea itu akhirnya diterima oleh seseorang. Katanya identitasnya jadi data rahasia yang ga bisa disebar sama RS,’ Joseph bercerita.

‘Maira,’ gumam San.

‘Hah? Siapa tuh?’ balas Joseph sambil mengernyitkan keningnya.

‘Dari apa yang gue liat, Mata Maira mirip banget sama Ara,’ jelas pemuda Sadawira itu.

‘San, relain Ara, please. Lo berhak bahagia, Ara tau itu. Ara pasti pengen lo bahagia. Gue juga sedih, kehilangan banget, jujur. Tapi, Ara mau perpisahan terakhir antara kita dengan dia membuahkan pertemuan indah antara Lo dengan siapapun itu nanti,’ Kini Joseph befilosofi.

‘Jangan nyakitin hati lo sendiri. Jangan nyiksa diri,’ Krisna menepuk-nepuk bahu San.

‘Loh, kok pada berkerumun di sini?’ kepala Jovan menyembul dari balik pintu. ‘Entar ditangkep sama satpol-pp loh,’ canda Jovan diikuti tawa renyah khas pemuda jangkung itu.

‘Seph, Bang Krisna, gue mau sendiri dulu,’ Sanjaya menghela nafasnya.

‘Makan dulu, udah malem,’ Joseph mengingatkan sebelum keluar dari kamar sahabatnya bersama dengan Krisna.

Sanjaya hanya menggeleng letih. Ia mengusap wajahnya berkali-kali. Memikirkan ungkapan Krisna barusan. Memang benar, di setiap sapaan pasti ada perpisahan. Teringat olehnya saat terakhir di rumah duka, sebelum peti ditutup, pemuda itu meminta izin pada kedua orang tua Ara untuk mengecup kening gadis manis itu untuk yang terakhir kali.

Bersama dengan keluarnya Joseph dan Krisna dari kamarnya, memori Sanjaya kembali berputar ke saat-saat dimana terakhir kali ia melihat wajah Ara, sang pujaan hatinya. Saat dimana akhirnya ia harus merelakan gadis itu berpulang ke surga, meskipun hatinya sesungguhnya masih belum merelakan kepergian Ara dari hidupnya. Separuh hatinya menyesal tak sempat mengakui perasaannya pada Ara. Hanya Tuhan dan Sanjaya yang tahu soal perasaan ini. Biarlah itu terkubur dalam hatinya. Membeku di dalam hatinya sampai hari ini.


Flashback

10 Juli 2017, hari dimana Ara berpulang ke Rumah Bapa Di Surga. Sanjaya berdiri mematung di samping peti kayu coklat berpelitur mengkilap itu. Masih bersimbah air mata. Ia memeluk sebuah bingkai foto coklat berisi foto sahabatnya, Ara. Dalam foto itu, Ara terlihat tersenyum manis sekali, seperti nggak ada beban dalam hidupnya. Joseph berdiri di samping Sanjaya, kepalanya tertunduk, menyembunyikan air matanya yang masih deras membasahi pipinya.

Di dalam peti kayu itu terbaring jenazah Ara. Wajahnya tampak tersenyum. Ara seperti malaikat, mengenakan gaun putih, kaus kaki putih dan sepatu satin berwarna senada. Di tangannya ada seikat buket bunga lily putih kesukaannya. Setelah upacara ibadah pelepasan dilangsungkan, Sanjaya minta izin pada kedua orang tua dan kakak perempuan Ara untuk bertemu Ara yang terakhir kalinya. Ia berjalan mendekati peti tempat Ara bersemayam dan menatap gadis itu lekat-lekat.

‘Ara, kenapa pergi ninggalin gue?’

‘Gue belum sempat ngucapin ini ke lo,’

‘Maaf, Ra. Butuh waktu lama buat gue ngomong ini ke lo.’

‘Gue jatuh cinta sama lu, Ra. Forever you’re my star.’ Sanjaya berbisik sambil menangis dan mengecup kening Ara untuk yang terakhir kalinya. Selepas itu ia hanya bisa menangis tersedu-sedu menatap peti yang tertutup rapat, Sampai jumpa, Ara. Hatiku selalu untukmu.

Flashback ends.


Besok paginya, pemuda berlesung pipit itu terbangun dengan perut amat-sangat laper alias udah kracak-krucuk dimana-mana. Cacing-cacing dalam perutnya udah demo karena semalam nggak dikasih makan. Tepat ketika pemuda yang akrab disapa San itu menginjakkan kakinya ke dapur, sosok dara manis berambut panjang dengan mata kecoklatan nampak sedang sibuk di dapur bersama Dilara, kekasih Rama yang hari itu mengosongkan jadwalnya untuk berkunjung ke tempat ke delapan bujang tampan itu tinggal.

‘Loh, Maira?’ San yang kala itu masih dibalut piyama biru mengerjapkan matanya.

‘Eh, halo, San!’ sapa sang gadis yang surainya diikat kuncir ekor kuda itu.

‘Kok lo tau gue tinggal di sini?’ Ujar San yang akhirnya mendaratkan tubuhnya di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan.

‘Tadi aku telfon hapemu, tapi yang angkat Joseph apa ya, namanya, terus diajak ke sini,’ Maira menjelaskan.

‘Kok hape gue bisa di lo?’ San melirik Joseph yang cecengiran di sampingnya.

‘Tadinya biar lu tidurnya tenang. Tapi semalem pas gue sama Joseph ngecek ke kamar lu, lu ngelindur manggil-manggil Maira,’ Jelas Krisna yang disambut gelak tawa renyah dari pemilik nama Joseph itu.

Seketika mata Sanjaya mendelik dan wajahnya semerah kepiting rebus. Kenapa sih, kedua temannya itu harus mengekspos kalo dia manggil-manggil nama Maira dalam tidurnya. Nggak cuma itu, celoteh Krisna membuahkan kekehan tawa renyah dari Maira dan Dilara yang masih sibuk bikin sarapan buat kedelapan bujang itu. Usai memasak, Maira duduk di samping Sanjaya dan meletakkan tangannya di kening Sanjaya.

‘Nggak demam kok,’ Maira tertawa sambil melepas tangannya dari kening Sanjaya.

‘Emang nggak sakit kok,’ Jawab Sanjaya dengan ekspresi saltingnya sambil mengulum roti panggang yang diletakkan Maira di piringnya. Sanjaya tiba-tiba meraih tangan Maira dan membawa tangan itu turun dari wajahnya. ‘Habis makan ikut gue ke teras, I need to know something about you.’

Semua dicengangkan dengan tindakan Sanjaya barusan. Selama ini, nggak ada cewek yang mendapat perlakuan hangat seperti apa yang mereka lihat barusan. Semua cewek yang mendekatinya selalu berakhir diketusin sama oknum yang kini membantu ayahnya di dojang alias akademi taekwondonya itu. Dari sekian puluh cewek, hanya Maira yang berhasil melembutkan hati dan setiap tingkah laku Sanjaya.

Usai sarapan, sementara Dilara dan yang lain berbincang di meja makan, Sanjaya dan Maira menyingkir ke teras depan. Ditemani dua cangkir teh susu buatan Dilara, keduanya bebincang dari hati-ke hati. Sedikit demi sedikit, semua kebingungan Sanjaya terjawab. Perkara kenapa mata Maira bisa semirip itu dengan mata mendiang Tiara pun sudah terjawab.

‘Maaf ya,’ tangan hangat Maira menyentuh punggung tangan Sanjaya lembut.

‘Maaf juga gue udah lancang nanyain ini ke lo,’ San tahu seharusnya ia nggak mempertanyakan soal mata Maira sejauh itu.

‘Nggak papa, kamu berhak tau. Gimanapun, ini titipan dari Tiara. Mataku ini titipan dari Tiara,’ Maira tersenyum sambil menggenggam tangan Sanjaya.

Sanjaya menatap Maira dengan senyum yang tenang dan lembut. Senyuman yang sudah lama hilang dari hari-harinya. ‘Mungkin, hari ini Ara mau bilang ke gue kalo bintang terang itu kini digantikan oleh matahari. Cuma, gue ini manusia biasa, Mai. Gue butuh waktu untuk menata hati. Kalau kita jalanin pelan-pelan, mulai dari berteman dulu, apa lo nggak keberatan?’ Tanya pemuda itu sambil membalas genggaman tangan Maira.

‘Hmmm, kenapa nggak,’ Maira tersenyum sambil menautkan jemarinya diantara jemari besar milik Sanjaya.

‘Makasih, Mai. Makasih udah mau jadi matahari yang menggantikan bintang itu,’ Sanjaya berujar.

‘IH SANJAYA APAAN SIH, GELI TAU,’ Maira nyeletuk sambil menepuk dada Sanjaya dengan senyum jenaka.


Maira dan Sanjaya sama-sama nggak sadar kalau mereka masuk ke rumah masih dengan tangan yang saling menggandeng satu dengan yang lain. Keduanya dibingungkan dengan tatapan jahil dari Jovan, Mahanta, Jafar, Rama, Joseph dan Krisna serta tatapan intimidatif dari Kenzie. Bagaimana tidak, awal yang canggung berakhir dengan tangan yang terikat satu sama lain.

‘Jadi, gimana?’ tanya Krisna.

‘Gimana apanya?’ Sanjaya menautkan alisnya sambil bertanya balik.

‘Itu ngapain gandengan?’ tanya Jafar sambil menaikkan alisnya.

‘Oh, nggak papa,’ Sanjaya menggaruk tengkuknya yang taka gatal itu. ‘Jadi, Ini Maira, munkin bakal sering main ke sini,’ jelas Sanjaya lagi.

‘Statusnya apa, San?’ kali ini Jovan nggak mau kalah kepo.

‘Statusnya, T E M E N,’ kali ini Maira bantu mengeja per huruf supaya yang lain berhenti menggoda dan menginterogasi mereka berdua.

‘Jalani pelan-pelan. Saya sama Dilara juga nggak langsung jadian kok, kalian berdua punya kecepatan masing-masing buat mengenal dan saling memahami,’ kali ini kultum dari kakak sulung, Rama.

'Gue sama Gita juga mulai dari nol kok, San,' tambah Krisna.

'Mulai dari Nol, kayak kalo di SPBU,' canda Mahanta diiringi tawa semua orang yang mengisi ruang tengah siang itu.

‘Iya, kan baru mulai juga. Jalanin dulu aja. Senyaman kalian,’ Dilara tersenyum sambil menepuk bahu Maira, memberikan dukungan buat mereka.

‘Akhirnya Sanjaya yang kaku, dingin dan nggak mau deketin cewek sekarang punya temen cewek,’ goda Joseph yang langsung mendapat hadiah jitakan dari si guru taekwondo ganteng itu.

Memang ada kalanya kita bergumul dengan kesedihan kita. Kerinduan kita pada seseorang dari masa lalu. Tapi, ada pula waktunya kita membuka lembaran baru dan bergerak maju. Memang membuka hati itu bukan hal yang mudah. Tapi ketika pintu hati itu terbuka, akan ada pagi cerah dan matahari yang akan menyinari harimu, menggantikan malam kelam yang selama ini mengisi hidupmu.


EP: FIN


Saved:29/4/21 16:51 Word Count: 1.450 words.