Part 2: Haje's Birthday Resolution


Sabtu 6 November 2021, Hotel Tentrem, DIY

“Je, kamu mainan Autocad terus ih, akunya dianggurin,” Chandrata merengek.

Usai merayakan ulang tahun Chandrata kemarin, Hanindra memutuskan untuk menyewa kamar hotel yang cukup bagus untuk mereka beristirahat. Sayangnya, mesra-mesraan mereka harus terpotong telefon dari Hasta perihal deadline draft yang dimajukan.

“Maaf ya, sayang. Tiba-tiba deadlinenya maju jadi tanggal 8 nih,” Hanindra menatap kekasihnya itu dengan tatapan penuh permohonan maaf. Tadinya, 3 hari ini memang ia khususkan untuk merayakan ulang tahun Chandrata dan dirinya yang jaraknya hanya berselang 2 hari. Tapi, apa daya, garis kematian dan pekerjaan yang menuntutnya bekerja walau dalam hatinya ia ingin berlibur.

At least, kamu stop sebentar ya, Je. makan siang dulu, ini udah jam berapa?” pinta Chandrata sambil ndusel-ndusel di lengan kekasihnya. Keduanya sekarang sedang duduk di ranjang, Hanindra dengan laptop di pangkuannya dan Chandrata dengan remote tv di tangannya.

“Iya, sayang,” Hanindra kemudian tersenyum sambil melipat laptopnya dan menaruhnya di sisi ranjang, “Tadinya, aku cuti buat quality time bareng kamu, tapi malah ada kerjaan kayak gini,” tukasnya.

“Nggak papa, Je. lagian itu tanggung jawab kamu. Tapi, tolong banget jangan lupain kesehatanmu,” pinta sang kekasih sambil tersenyum manis sekali. “Udah mau ulang tahunmu loh.”

“Speaking of which, besok lunch di hotel aja, aku dah book di resto juga. *I have something to say to you,” Haje sukses membuat kekasihnya mengerutkan keningnya bingung.

“Apa nih, kok tiba-tiba ga pake aba-aba?” tanya Chandrata bingung.

“Ya kita liat aja besok,” Haje merebahkan tubuhnya di ranjang kemudian merentangkan lengan kirinya agar Chandrata dapat merebahkan kepalanya diatas lengannya. “Sini, tiduran dulu, katanya tadi nyuruh aku setop laptopan?” panggil Haje lagi ketika Camin bangun dari ranjang untuk me-refill debit air dalam tubuhnya.

Yang dipanggil langsung naik lagi ke ranjang, kepalanya di atas lengan sang kekasih. “Masih harus kerja keras ya, Je. Uangnya belum bisa buat nikah di luar,” ungkapnya sambil memainkan surai merah menyala kekasihnya.

“Kalo ayah-bunda bisa aja sih nerima kamu dan aku. Tapi, Indonesia nggak semudah itu menerima kita,” Haje menghela nafasnya.

“Nggak ada gereja yang mau menikahkan kita berdua juga, kan?” Chandrata menghela nafasnya berat sambil memutar badannya menghadap Haje.

“Jangan pusingin itu dulu, sayang. sekarang ini kita enjoy aja dulu ya, bayi,” Haje bergerak mendekat dan mengecup dagu Chandrata lembut.

“Haje, kita udah 24 tahun ini, dan aku udah dikejar-kejar. Bapak udah mengancamku mau jodohin aku ke anak temannya. Aku nggak mau,” Chandrata mencebikkan bibirnya.

“Sabar ya, Camin. Aku yakin kita bisa ngejalanin semuanya. Kalau mau aleman, jagan ditahan-tahan. aku suka ngeliat kamu aleman sama aku kayak gini,” kekeh Haje sembari mendaratkan kecupan ringan di sepanjang garis rahang Chandrata.

“I'll be here,” bisikan Hanindra barusan membuat Chandrata berjengit sedikit dan mendongakkan kepalanya ke atas agar sang kekasih punya banyak ruang untuk mendaratkan kecupan-kecupan ringan di sepanjang lehernya juga.

Cup, Cup, Cup suara kecupan Hanindra yang semula lembut dan nyaris tak terdengar kini semakin terdengar, semakin basah dan membara. Di sela-sela kecupan, Hanindra memainkan lidahnya pada earlobe kekasihnya, membuat pemilik nama Chandrata Mintaraga Jenggala itu menggeliat. Karena, YA TUHAN bagian itu begitu sensitif untuk Chandrata. Jantung pria yang sering disapa Camin oleh Hanindra itu detaknya semakin tak beraturan. Mana di bawah sana, Camin sudah mulai menggesek-gesekkan kemaluannya pada paha kekasihnya.

“HHHHH,” desahan Chandrata memenuhi rungu Haje. Pemuda ber lesung pipit itu masih sibuk menggesekkan kemaluannya di paha kekasihnya.

Haje masih sibuk mengecup dan menghisap leher kekasihnya dengan penuh gairah sebelum akhirnya ia menanamkan sebuah gigitan di perpotongan leher sang kekasih, menandai hak miliknya. Chandrata balas mengigit lengan kekasihnya karena tak mau teriakan melengkingnya merusak rungu kekasihnya dan siapapun yang tidur di kamar sebelah.

Tangan Haje meraih tangan kiri kekasihnya dan meletakan jemari lentik Chandrata di atas lubang sanggamanya sendiri. “Min, coba yuk, put three fingers inside you, make some room for me,” Haje berujar sambil mengecup pipi kekasihnya.

[oh iya, perlu diketahui, mereka masih pake atasan, bawahnya aja yang nggak ketutup fabric.]

Chandrata hanya memenuhi instruksi dari kekasihnya. Ya, Chandrata sangat submisif sekarang, dibawah perintah yang lembut dari kekasihnya, ia mulai memasukkan tiga jarinya ke dalam lubang sanggamanya dan mulai melakukan self-fingering sambil mengerang dan melenguh perlahan. Untuk meredam suara lenguhan dan erangan Chandrata, Sang dominan kemudian melumat bibir merah Chandrata.

Chandrata kemudian menarik keluar tiga jarinya yang kini dibasahi cairan pra-ejakulasinya. Lubang sanggamanya kini sudah terbuka, “Sayang,” Chandra menatap dominannya dengan mata memohon. Dan pemuda Juanda itu mengangguk setelah membersihkan tangan kekasihnya dengan menjilat cairan yang membasahi tangan kekasihnya itu. dan perlahan dengan hentakan lembut memasukkan seluruh kejantanannya masuk ke dalam lubang kekasihnya. Sensasi sengatan listrik yang mengejutkan menjalar dari ujung tulang ekor Chandrata, dan perlahan naik ke otaknya, nikmat rasanya.

Yah, kita tahu betul apa yang terjadi selanjutnya, malam yang panjang buat keduanya.


Esok paginya, seperti perkiraan kalian, kedua sejoli ini tewas di ranjang. Kulit mereka hanya tertutup selimut. Keduanya tertidur dalam pelukan hangat satu sama lain. Baju mereka sudah berserakan di lantai, begitu pula bantal yang semula ada di ranjang, semuanya berserakan di lantai. Yang tersisa di ranjang hanya kedua insan yang masih dimabuk cinta itu, dibalut bed cover linen putih.

“Morning, prince,” Haje yang lebih dahulu terbangun menyapa kekasihnya yang baru saja mengusap matanya karena benda asing yang dinamakan sinar matahari pagi menyapa matanya.

“Hai, sayang. Selamat ulang tahun,” Camin merapatkan tubuhnya dengan tubuh Haje dan mengecup bibir kekasihnya itu.

“How's last night?” tanya Haje sambil menggerakkan alisnya jenaka.

You're still that good and gentle with me. I thank you for that,” suara parau Camin menandakan tubuhnya masih sedikit lelah akibat Seks semalam.

“Nggak sakit kan?” tanya Haje.

No, kamu nggak pernah bikin aku sakit, sayang. Enak banget,” Camin menggeleng dan tersenyum, memamerkan deretan gigi putihnya dan lesung pipinya yang dalam dan manis itu.

“Good then, don't forget to dress up for tonight ya, babe. My birthday dinner. Sekarang kita mandi terus aku kerjain draft sebentar sebelum di-submit ya?” Haje mengangguk dan mengecup bibir kekasihnya.

“Okay, babe. aku mandi terus pesenin breakfast ke room service, mau? sekalian sarapan bareng, biar entar kuat nge-draft lagi,” tawar Camin.

“Bolehh,” Senyum Haje melebar ditawari kekasihnya untuk makan bersama.


Malam itu, di sebuah restoran bernuansa Jawa dengan temaram lampu yang indah dan syahdu, kedua insan itu duduk menikmati kudapan malam. Sebelum hidangan penutup disajikan, Pelayan restoran datang membawa sebuah trolley berisi kejutan yang sudah disiapkan oleh Hanindra sebelumnya. sebuah piring yang tertutup oleh sebuah tutup saji stainless steel yang di dalamnya terdapat sebuah kotak beludru berisi sepasang cincin dengan ukiran nama mereka berdua.

“Uhm, Chandrata Mintaraga Jenggala,” jarang-jarang banget Hanindra memanggil Chandrata dengan nama lengkapnya. Biasanya, mereka memanggil nama masing-masing dengan panggilan sayang. Tapi kali ini berbeda, sorot mata Hanindra juga berbeda.

“Kok tumben manggil aku pake nama lengkap?” tanya Chandrata sambil mengerutkan keningnya.

“Soalnya,” Hanindra membuka tutup saji dan mengambil kotak beludru putih di dalam nya. “Hari ini mau nanya serius sama kamu. Aku nggak tau petualangan apa yang akan ada di depan kita, Aku nggak tau kapal kita akan berlayar kemana. Tapi, aku mau ajak kamu berlayar bersama aku, nyari harta karun yang berharga itu bersama-sama. Will you be with me till the end of the line?” Hanindra berlutut di hadapan Chandrata yang kini duduk manis di kursinya.

“Hanindra,” Kedua mata Chandrata tak kuasa menahan bendungan air mata yang sudah sejak tadi bersarang di pelupuk matanya. Air mata itu kini terjun bebas membasahi pipi Chandrata. Ia kehabisan kata-katanya.

“Captain, take me wherever you go,” Chandrata berbisik pelan sambil mengangguk dan mengambil kotak beludru itu.

“Yay! kalo gitu, sekarang sini tangannya,” Hanindra berdiri dan mengambil cicin berukir namanya untuk disematkan di tangan kiri Chandrata.

“I love you, Sayang,” Hanindra memeluk tubuh Chandrata dan membiarkan kepala sang Jenggala tersandar di bahunya, menyembunyikan dirinya yang masih berusaha meredakan tangis harunya.


Happy Birthday, Kim Hongjoong!