'You’re not Alone'


Seutas cerita tentang Wooyoung dan Choi San rasa lokalan Choi San : Charisto Santiago Kurniawan Jung Wooyoung : Yoshua Uriel Juantama


[#13] Requested by Sayaaaang, from the writing plot challenge


Charisto Santiago Kurniawan, siapa yang nggak kenal nama itu. Kelas 11, juara umum setiap tahun, atlet Taekwondo sekolah yang mulai berkiprah di pertandingan internasional. San memikul tanggung jawab yang begitu besar di pundaknya, ekspektasi guru dan teman-teman sekolahnya tinggi akan dirinya. Tak jarang seluruh mata berpusat padanya ketika ia tiba di sekolah maupun saat dia pulang sekolah.

San tidak mengenal cinta dalam kamus hidupnya. Kalau boleh jujur, San sangat lelah dengan semua ekspektasi orang terhadapnya. Ia ingin jadi dirinya sendiri. Seperti teman-teman seusianya, belajar, bermain dan berkegiatan seperti anak SMA pada umumnya. Ia membenci dirinya yang selalu harus memikul tanggung jawab seberat itu tanpa bisa merasakan indahnya masa-masa SMA yang orang bilang menyenangkan itu.

Di lain sisi sekolah, ada Yoshua Uriel Juantama. Adam berambut hitam legam dengan tahi lalat terlukis di bawah mata kirinya dan senyum jahil yang selalu menghiasi wajahnya ini berbanding 180 derajat dengan sosok San. Yoshua bukan tidak pandai, Ia selalu menempati 5 besar siswa terbaik di kelasnya.

Namun, sayangnya, orang memandangnya sebelah mata karena Yos ini bergabung di team dance yang notabene isinya anak-anak yang dicap bengal, berandal, nakal dan segudang adjektiva yang menggambarkan hal yang negatif. Padahal sungguh deh, selain jahil, nggak ada lagi sifat Yos yang menyebalkan. Malahan orang-orang suka berteman dan ngumpul sama Yos karena sifatnya yang supel dan bawel.


San punya kebiasaan mengisi sebuah buku jurnal, menuangkan semua cerita yang dialaminya, bagaimana perasaannya hari itu. Ini adalah bagian dari terapi yang ia jalani setalah sebelumnya si tampan berlesung-pipit ini didiagnosa mengalami gejala gangguan mental ringan. Biasanya, buku itu akan ia serahkan pada Kak Senja, kakak perempuan sekaligus tempat curhat San yang paling ia percaya dan sayangi.

Dibalik senyum yang selalu dianggap menawan oleh anak-anak perempuan di sekolahnya, terdapat luka yang tak kasat mata. Di balik jaket denim yang menutup lengannya pun terdapat luka, bekas goresan yang sudah kering maupun baru. Kenapa? Kenapa orang sesempurna San tega melukai tubuhnya sendiri? semua itu karena ia merasa semakin kesini, semakin berat tuntutan yang harus dipikulnya dan pundaknya nggak bisa memikul semua itu sendirian.

Suatu hari, sepulang sekolah, seharusnya ada latihan Taekwondo, tapi San tak kunjung muncul. Padahal, semua orang tahu pemuda 176 cm itu tak pernah punya rekor bolos latihan ketika musim turnamen sudah mulai menampakkan hidungnya. Tapi hari itu, Pak Samuel, ayah sekaligus pelatih Taekwondo di sekolah San, menunggu dengan gusar karena putra dan kebanggaannya tak kunjung menampakkan wajahnya di dojang tempat mereka berlatih.

Sebenarnya, San ada kok di sekolah. Tapi ia menghindari pertemuan dengan papanya. Salah satu hal yang membuat dadanya sesak dan takut menyelimuti dirinya adalah ekspektasi Papa terhadap San. Jujur, itu pun kalau boleh, San takut bertemu dan membuat papa kecewa kalau seandainya performanya saat sparring, kyukpa maupun poomsae mengecewakan. Dan belakangan ini, San nggak bisa menutupi hal itu saat ia berhadapan dengan Papa, baik di rumah maupun di sekolah. Sekujur tubuhnya gemetar saat itu. Hanya ada satu kata yang menggambarkan ekspresi wajahnya saat itu. Takut.

‘Loh, Charis,’ kata-kata itu muncul dari mulut Yos yang saat itu juga berada di toilet. ‘Kok belom ganti pakaian. Pak Sam sudah nyari kamu tuh,’ Yos berujar lagi.

San tidak membalas ucapan Yos. Yang ada, mendengar nama papanya disebut ia semakin panik, nafasnya jadi tersengal-sengal.

‘Loh, kenapa?’ Yos dengan sigap menangkap tubuh San yang agak limbung dan hampir jatuh. ‘Ris, kamu nggak papa kan?’

San hanya mengangguk. tubuhnya masih gemetar dan ada ketakutan tersirat di matanya. Yos pun tau something’s off. Ada sesuatu yang nggak benar dengan apa yang baru saja disaksikannya.

‘Tarik nafas, aku di sini, kamu nggak perlu takut,’ hanya itu yang bisa dilakukan Yos saat itu. Dan San nggak punya pilihan selain mengikuti instruksi dari Yos. Perlahan gemetar di tubuhnya hilang, nafasnya kembali normal. Tapi saat itu juga tubuhnya kehilangan tenaga dan terhuyung ke arah Yos yang dengan sigap menangkapnya. ‘Aku nggak mau kamu cerita apapun sekarang, kamu tunggu di kelas aja. Aku ke ruang taekwondo untuk bilang kamu ada pelatihan untuk olimpiade,’ Yos membantu San bertumpu pada kedua kakinya lagi sambil mencoba menawarkan solusi pada San.

San mengangguk dalam diam dan membawa tas berisi pakaian taekwondonya kembali ke kelas. “Kenapa coba Yos begitu baik ke aku. Padahal aku kenal dekat sama dia pun enggak,” tanya San dalam hati. Dia nggak tau aja, selama ini, Yos tuh suka sama San yang misterius dan pendiam.

Sepuluh menit kemudian, Yos muncul dari balik pintu kelas. Kondisi San sudah kembali Normal. Yos berjalan mendekat sambil mengernyitkan keningnya, menilik apa yang sedang dilakukan San saat itu. Semua itu diluar ekspektasi Yos, San sedang menulis di buku jurnalnya sambil menghias buku itu dengan gambar-gambar ilustrasi. Dia nggak tahu San berbakat dalam hal itu.

‘Bikin apa?’ Yos duduk di samping San sambil berusaha mengintip.

‘Dokter bilang, ini bisa membantu gue mencurahkan apa yang ga bisa gue omongin,’ San menggeser sedikit tubuhnya agar Yos dapat melihat apa yang sedang ia lakukan.

‘Aku boleh baca?’ tanya Yos sambil meminta persetujuan pemilik orbit hitam di sampingnya.

‘Gue nggak biasa cerita lisan. Kalau lo mau tau alasan kenapa tadi gue kayak gitu, lo bisa baca jurnalnya,’ San menggeser buku yang tadi diisinya dengan tulisan dan gambarnya itu.

Yos mulai membaca, kalimat demi kalimat, halaman demi halaman. Tak butuh banyak waktu baginya untuk mencerna semua tulisan San. Selama ini, di balik sosok sesempurna itu, terdapat seorang yang lemah dan butuh pertolongan. Dan ia baru menyadari semua tekanan dan beban yang tertanam di bahu pemuda di sebelahnya itu saat membaca seluruh kisah yang tertuang dalam buku kecil itu.

Perlahan, air mata yang tadi tertahan di pelupuk matanya meleleh membasahi pipi dan kerah seragamnya. ‘Maaf, aku ga tau bebanmu seberat itu,’ isak pemuda 173 cm itu.

San menepuk bahu sang wira di sebelahnya itu. Udah sih, jangan nangis. Kan gue yang ngerasain. Cuma emang gue nggak bisa ngungkapin semuanya aja. Semuanya ketahan di kerongkongan,’ San menunduk.

‘San, mulai sekarang, aku mau denger semuanya. Kamu nggak sendiri.’ Yos menatap Kurniawan di sampingnya dalam-dalam.

‘Suatu saat, semua akan meninggalkan gue karena nggak tahan sama beban yang gue pikul sekarang. Apa lo juga akan ninggalin gua juga?’ San menggenggam pena di tangannya kuat-kuat.

Yang ditanya hanya menggeleng lembut dan menatap lawan bicaranya dengan tatapan yang sangat menenangkan. ‘Kalo mereka begitu, aku enggak. Aku nggak akan ninggalin kamu. Beban itu, nggak akan kamu pikul sendiri lagi. Bagi bebannya sama aku. Aku janji, aku akan pikul beban itu bareng sama kamu,’ ujar Yos mantap sambil membelai rambut San. Perlahan, genggamannya mengendur dan pena yang dipegangnya terjatuh ke lantai.

‘Kenapa? Kenapa lo mau membagi beban itu sama gue?’ tanya San sambil mengerutkan keningnya.

‘Kamu udah pikul itu semua sendiri selama ini. Dan aku nggak tau soal itu. Karena aku sayang sama kamu, aku mau jadi temanmu. Nggak cuman waktu seneng aja. Aku akan selalu ada waktu kamu mau nangis. Bahu ini siap jadi sandaran buat kamu,’ Yos berujar sambil merengkuh San dalam pelukan hangatnya.


‘Tuhan, terima kasih. Disaat aku mempertanyakan keberadaan-Mu. Engkau mengirimkan malaikat pelindungmu untukku. Malaikat yang bisa kusentuh, kurengkuh dan selalu berada di dekatku. Sekali lagi, aku bersyukur. Meskipun aku ini tak sempurna, Engkau memberikan seseorang yang mau menerimaku’– Charisto Santiago Kurniawan.