Labels


— Seonghwa x oc lokal — OC: Karissa Danisa Julianne as Krisna ( Hongjoong's) older sister, Seonghwa as Aruna Sada Pakasi, Hongjoong as Krisna Handika Judithya


Risa benci teman-temannya yang selalu melabeli adiknya sebagai bencong dan Aruna sebagai cowok cantik. Risa ingin suatu saat bisa membela kedua orang yang begitu penting untuknya. Selama ini, Risa cuma bisa menangis ketika orang menghina Aruna dan Handika.


bagi sebagian orang, cara berpakaian dan potongan rambut adalah cara menyuarakan pendapat dan jati diri mereka. Itu lah yang dianut oleh Krisna Handika Judithya, adikku, Mahasiswa tingkat 3 jurusan seni musik. biarpun Dika, begitu ia kerap disapa bukan tipe anak fakultas seni yang semerawutan seperti stereotype dan label orang terhadap anak fakultas seni, Handi punya cara sendiri untuk berteriak “I Exist” dan menyuarakan pendapat dan aspirasinya lewat warna rambut, piercing, tattoo, dan style berpakaiannya.

Tak jarang orang-orang di sekeliling Dika mengkritik cara berpakaian maupun warna rambutnya. Tak jarang pula Dika dianggap aneh sama teman-temannya karena dia berani mengenakan busana-busana yang nggak lazim dikenakan pria pada umumnya. sebenarnya, Aku, Karissa, kakaknya Dika malah menganggap adikku ini keren banget. karena nggak jarang dia menyulap pakaianku yang udah lama nggak dipakai menjadi sesuatu yang cocok dipakai di badannya.

Dika pernah datang ke kampus pakai rok hitam di atas celana jeans nya. habis itu, dia dikritik habis-habisan sama teman-temanku. rasanya aku pengen marah aja, ngebela adikku. tapi siapa aku? badanku lebih kecil dari mereka dan mereka punya gerombolan geng anak teknik yang bisa melahapku habis-habisan. Akhirnya, yang berdiri dan membela Dika mati-matian cuma Aruna, Aruna Sada Pakasi, teman sekelasku. Aru, begitu aku memanggilnya, dekat juga denganku. kami sering sekelompok denganku kalau ada tugas.

“Ru,” panggilku sambil menyikut lengan Aru yang duduk di sebelahku.

“Hmm, kenapa?” Jawab Aru tanpa menoleh ke arahku. Dia masih sibuk dengan soal hitung-hitungan yang diberikan dosen kami.

Aku menghela nafasku. sambil memainkan pena di tanganku dan mencebikkan bibirku. “nggak tau ah,” Ujarku seadanya sambil mencoret-coret bukuku dengan gambar-gambar.

“Sa,” Aru menoleh ke arahku sambil menatapku. Rasanya jantungku mau copot ditatap seintense itu sama Aru. “Kenapa?”

“Entar pulang gue mau nongkrong sama Dika, dia lagi ada project life music di kafe depan kampus. temenin ya. itung-itung kasih support buat dia,” jawabku. “Udah cukup gue diem dan bersembunyi dibalik punggung lo. gue mau tunjukin gue kakaknya Dika.”

“Sa, Gue tau lu ga ngumpet dari fakta bahwa lo kakaknya Dika. Gue liat lo selalu nangis kalo orang-orang berkata buruk tentang adek lo,” Aru merapat dan merangkulku. “Udah cukup lu nangis sendirian, ada gue di sini, gue bisa bantu lu belain Dika,” Ucapannya seperti siraman air dingin di hari yang panas. nyegerin banget.

Aku berusaha menahan air mata sampai kelas berakhir. Begitu semua meninggalkan kelas aku menunduk dan air mataku tumpah-ruah. Dadaku yang belakangan selalu sesak dan pengap akhirnya lega. Melihatku menangis, Aru hanya menarik ku masuk dalam pelukannya yang hangat. Kepalaku terbenam di dadanya. suara detak jantung Aru membuat ku sedikit lebih tenang.

“Sa, gue di sini,” hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir merah jambu Aru. namun itu yang berhasil menenangkan tangisku. “jangan nangis lagi, sebenarnya lu cantik kalo nangis, tapi lebih cantik lagi kalo lu senyum,” ucapannya barusan membuatku mengusap air mataku dan terkekeh kecil sambil menonjok pelan dada bidang Aru. “Apaan sih gombal banget, najis,” balasku.

“Iya, udah kalo udah tenangan, kita langsung jalan ya. atau lu mau ke toilet dulu, touch up, mungkin?” tawarnya.

“Boleh,” aku mengangguk dan merapikan barangku kemudian berjalan ke toilet.


Aku baru saja berjalan keluar dari kamar mandi waktu mendapati segerombolan anak jurusan teknik yang lumayan terkenal di angkatan kami tengah berbicara di koridor. sayup-sayup terdengar obrolan mereka.

'Lo udah denger si bencong anak musik yang suka pake baju aneh-aneh itu, siapa namanya tuh. hmm Handika? krisna? dia katanya busking di cafe seberang, berani banget ya,'

'Iya, si Handika, dia gay ga sih?'

tiba-tiba, alih-alih melangkah ke depan, ada seseorang yang menarik langkahku ke belakang dan menutup telingaku dengan kedua tangan hangatnya. “Jangan didengerin, kak. gue udah biasa. biar gue aja yang sakit hati.” dari suaranya, aku tahu itu suara Handika dan dia mendengar semua hinaan orang-orang itu barusan.

“Lepas! gue mau kasih tau mereka gue bangga sama lo dan gue ga malu jadi kakak lo,” aku melepaskan tangannya dari telingaku.

“Kak! gue nggak mau lo luka dan disakitin sama mereka. they're boys and much bigger than you,” Dika berusaha memegang tanganku. tapi ya, aku membebaskan diriku dari pegangan tangannya dan menghampiri cowok-cowok itu.

“Beraninya ngomong di belakang doang! Elu, elu, dan elu, badan doang besar, tapi nggak berani ngadepin orangnya langsung,” emosiku membuncah. Handika hanya menatapku dari kejauhan.

“Ngapain nih minion dateng-dateng marah,” cibir salah satu cowok itu.

“Berani banget lo,” balas yang lainnya.

“Elu yang berani, Anjing! Dia adik gue, yang lo katain itu adik gue,” entah kekuatan dari mana itu, aku mengayun tanganku dan menampar satu-per satu dari ketiga cowok itu. “Elu bertiga nggak lebih jantan dari adik gue. at least, gue bangga sama adik gue yang berprestasi dan bisa mengharumkan nama keluarga. Nggak kayak lu semua, kelas mat das* aja ngulang 3x,” cibirku.

“Anjir nih cewek banyak gaya banget!” salah satu dari mereka mengayun tangannya bergerak hendak memukulku.

“Kalo lo cowok beneran, lo ga bakal berani nyakitin cewek, terlebih dia kakak gue,” Dika maju dan menepis tangan besar yang hampir mendarat di wajahku.

“You're lucky my brother's waiting for me today. if you're acting on my watch, gue ga akan segan praktekin judo dan karate gue ke lo semua,” aku menatap mereka jengah.

“Sekarang lo semua pergi. gue nggak sudi tangan Kak Risa kotor karena kalian,” Dika mengusir mereka yang akhirnya pergi ninggalin kita berdua sebelum akhirnya lututku lemas dan aku terjatuh.

“Kak, lo nggak papa?” tanya Dika yang berjongkok untuk menangkap tubuhku yang nyaris jatuh bebas.

“Dika, Sasa kenapa?,” Aru datang menghampiri kami. di tangannya ada tiga gelas es kopi.

“Kakak abis ngelawan cowok-cowok yang nge-label-in gue dengan sebutan banci/bencong,” Jawab Dika pendek.

“Sasa biar gue yang jagain aja, Dik. Lo ke cafe aja siap-siap buskingnya,” Aru berujar sambil membantu Dika memapahku ke tempat duduk terdekat.

“Titip kak Sasa ya, Kak.” Dika melambaikan tangannya dan menghilang dari koridor. menyisakan Aru yang berjongkok di hadapanku.

Setelah kejadian barusan yang ku tahu, aku sudah berada dalam rengkuhan hangat seorang Aruna Sada Pakasi. Aku hanya bisa memejamkan mataku sambil mendengarkan suara degup jantungnya yang menenangkan itu.

“Lo hebat,” hanya itu yang keluar dari mulutnya sambil membelai rambutku.

“Makasih, Aruna,” ujarku pelan.

“Ih tumben manggil gue Aruna,” candanya sambil terkekeh.

“Aruna bagus tau artinya,” ujarku sambil tersenyum dan menatapnya.

“Kayaknya tante tau anaknya seganteng itu waktu lahir, jadi dikasih nama Aruna,” Aku tersenyum sambil menangkup wajahnya.

“Makasih, I need that, Sa. Let alone, waktu semua orang ngatain dan ngelabelin gue cantik hanya karena nama gue, hanya karena Aruna identik dengan cewek, lo ada di situ dan mengatup kuping gue. lo selalu disamping gue waktu badai itu melanda gue,” Ia tersenyum dan mendekatkan jarak di antara kami berdua. Senyum Aru kali itu lebih indah dari biasanya.

Jarak diantara aku dan dirinya semakin dekat. Tanpa kusadari, Aru sudah mendaratkan labia merah jambunya itu di keningku. Bisa ku tebak saat itu pipiku memerah. udah seperti kepiting rebus, kayaknya.

bukan hanya karena kata-kata manis yang dengan lancar meluncur dari bibir Aru. dengan kecupan kening barusan, jantungku seakan-akan minta melompat ke luar dari rusukku di saat yang sama. Bisaan banget makhluk ganteng satu ini membuatku berteriak di dalam hati karena tingkahnya.

“Udah ah, ke cafe yuk, pasti udah ditungguin sama Dika,” Aku memutuskan untuk mengalihkan perhatian dan berdiri serta menarik lengan Aru pelan.

Aru hanya berjalan mengikutiku sambil tertawa renyah. aku suka suara tawa Aru, aku nggak bisa bohong soal itu.


Sore itu, di cafe yang dipenuhi dengan kerlip lampu led warna-warni, nampak sesosok pemuda tampan berbusana kaus hitam, jaket kulit, celana jeans dengan aksen sobek di lutut, disempurnakan dengan apron kilt dan sepasang sepatu biker boots. dialah pemeran utama dalam panggung busking hari ini. Di mataku, dia keren banget, Handika, si kecil yang selalu mengekor di belakangku dulu, sekarang sudah lebih tinggi dariku.

“Tuh Dika,” aku menunjuk ke arah Dika yang melambai ke arah kami berdua.

Aru hanya balas melambai dan merangkulku. “Keren juga dia. cocok pake baju kayak gitu,” komentar itu membuatku tersenyum.

“Ru, makasih. Makasih banget lu udah dukung Dika,” Aku menatap wajah Aru yang berkilau ditengah temaram lampu kuning penerangan cafe.

“Sa, gue mau di samping lo terus. sekarang, dan sampai nanti mungkin takdir memisahkan kita, boleh kan?” tanya Aru sambil mendekatkan kepalanya ke telingaku.

“Aruna Sada Pakasi, semua orang pengen berada di sampingmu yang sempurna itu. kenapa dari sekian banyak perempuan, kamu pilih aku?” tanyaku sambil menatap matanya dengan sedikit mendongak.

Suasana romantis itu dipecah oleh suara Dika yang menggema lewat mikrofon.

“Gue mau berterima kasih sama Kak Sasa, kakak kandung gue, orang yang selalu mendukung gue. tanpa air matanya, gue nggak akan pernah bisa berdiri di sini. Tanpa kakak yang dulu selalu gue buntutin kemana-mana, kakak yang belain gue karena gue punya style yang beda, gue nggak bakal bisa jadi seperti ini, mensyukuri siapa gue.

Kak Sasa, lo berhak bahagia juga. Gue udah bahagia dengan gue yang sekarang. Gue mau lo bahagia juga sama Kak Aru. Ini lagu buat kalian, Thank U,” Ucap Dika sebagai pengantar pembuka pertunjukannya.

Air mataku menetes mendengar setiap lirik yang dinyanyikan oleh adikku itu.

'Terima kasih sudah berada di sisiku. Bersamaku melewati hidup ini. Terima kasih telah berada di sisiku di hari-hari yang melelahkan untukku. melampaui badai dan hujan. kau dan aku melampaui semuanya bersama.'

Lagu yang sederhana namun menggetarkan hatiku. Karena ternyata sebegitu berartinya kehadiranku untuk Dika.

“Jadi mau pacaran sama aku nggak?” Aru masih gigih dengan usahanya walau masih dalam suasana haru. “Mau lewatin badai bareng aku nggak?”

“Who doesn't want to be with someone like you, Aruna?” tanyaku sambil memeluknya.

Aruna melepas pelukannya dan merendahkan posisi berdirinya kemudian mengecup bibirku manis.

wangi parfumnya begitu jelas menyeruak ke seluruh indera penciuman ku. wangi menenangkan lavender dan daisy yang berpadu dengan kayu cendana dan musk.

kecupan manis yang mengawali petualangan kita melawan semua badai.


— Aruna & Karissa end to a new beginning