𝐏𝐚𝐧𝐭𝐨𝐧𝐞 𝟏𝟑-𝟏𝟏𝟐𝟓 𝐓𝐂𝐗: 𝐏𝐞𝐚𝐜𝐡 𝐐𝐮𝐚𝐫𝐭𝐳


a short story of Anggara Chahidar and Elina Indira Citrani


Batu Kristal Kuarsa berwarna 𝒑𝒆𝒂𝒄𝒉 dipercaya memiliki kekuatan untuk melepas aura negatif dan mengembalikan diri kita jadi sosok yang lebih baik. pendeknya, batu kristal ini bisa jadi sarana untuk menyembuhkan dan menenangkan diri. Sama seperti sosok Anggara dimata Elina. Pertemuan mereka tidak disengaja. Keduanya sama-sama ditimpa badai, sama-sama bertemu dalam keadaan hancur. Elina baru habis bertengkar hebat dengan Jenar, kekasihnya, yang berakhir dengan kata putus. Anggara habis adu mulut sama dosen dan berakhir dengan pukulan tajam yang membuat dia 𝐾𝑂 dan tertekan.

Saat itu pukul 5:30 sore dan langit mulai perlahan berubah warna. Ellie, begitu Elina akrab disapa, menatap semburat senja dari tempatnya berdiri, 𝑹𝒐𝒐𝒇𝒕𝒐𝒑 gedung Fakultas Seni. Di sisi lain 𝑹𝒐𝒐𝒇𝒕𝒐𝒑, Anggara juga tengah menatap lembayung senja sembari ngomel-ngomel sendiri, kesel banget kayaknya. Ellie yang baru aja memejamkan matanya tiba-tiba melek lagi mendengar Anggara yang misuh-misuh. Matanya masih menatap Anggara lekat-lekat, seakan lagi ngerekam wajah Angga dan suasana saat itu. Nggak lama, Ellie kenal betul siapa yang lagi misuh-misuh. Ya, mereka teman seangkatan dan sefakultas.

Ellie duduk di tangga darurat, sudah berapa minggu terakhir ini, frekuensi pertengkarannya dengan Jenar semakin sering. memang selalu berakhir dengan permintaan maaf yang romantis dari Jenar, tapi Ellie capek harus memikul beban seberat ini sendiri. Air matanya mulai turun membasahi pipi kemerahannya. Wajahnya sudah terbenam di dalam tangkupan kedua tangannya, seperti matahari yang terbenam di garis khatulistiwa waktu senja.

Sementara itu, Anggara baru kelar misuh-misuh dan berniat mau balik ke kos-kosan ketika dia denger suara cewek nangis dari tangga darurat. semakin dekat dia menuju pintu tangga darurat, semakin jelas suara tangisan itu terdenger. Nggak kok, Angga ga takut sama yang gituan, dia suka banget sama cerita dan film horror. Semakin jauh Angga menuruni anak tangga, semakin jelas pula suara tangisan itu.

Angga mendekati gadis yang tengah duduk di salah satu anak tangga dan menangis itu. Tangannya menyentuh pundak gadis berambut lurus itu dan sang gadis dengan kasar menyeka air matanya dengan lengan bajunya dan menoleh ke arah Anggara.

'El,' Anggara lumayan kaget menemui sosok Ellie yang biasanya penuh semangat kini bersimbah air mata. 'ada apa?' tanya Angga sembari duduk di samping temannya itu.

Ellie hanya diam sembari menatap Angga. hatinya masih kacau dan sesak.

Angga dan Ellie sebenernya nggak deket-deket amat. yah, sebatas seangkatan dan sering sekelompok kalau ada tugas kelompok. Tapi Angga kali ini beneran baru sekali liat Ellie nangis sampai separah ini. Ellie menggeleng seakan mau bilang ke Angga kalau dia nggak papa saat itu.

'Don't lie. Kalo lo nggak papa atau lo masih bisa ngadepin sendiri, lo ga akan nangis kayak gini,' Angga kini duduk di anak tangga yang sama dengan Ellie.

'Tapi lu kan abis ada masalah juga sama Pak Arran,' Ellie berujar.

'Loh kok lo tau?' Angga menatap gadis itu bingung.

'Lo misuh-misuh tadi di 𝑹𝒐𝒐𝒇𝒕𝒐𝒑, gue ga sengaja denger,' Ellie berujar.

'Gue udah nggak kenapa-napa lagi kok, El. 𝑌𝑜𝑢 𝑐𝑎𝑛 𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡 𝑜𝑛 𝑚𝑒. Ada apa dengan lo? 𝐼 𝑛𝑒𝑣𝑒𝑟 𝑠𝑒𝑒 𝑡𝘩𝑎𝑡 𝑑𝑎𝑟𝑘 𝑎𝑢𝑟𝑎 𝑎𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 𝑦𝑜𝑢 𝑏𝑒𝑓𝑜𝑟𝑒,' tanya Angga.

'Semuanya jadi semakin 𝑡𝑜𝑥𝑖𝑐 sekarang, Ang. Gue capek,' Ellie menunduk.

'Jenar?' tembak Angga.

'Ya, Jenar. beberapa bulan ini gue sering banget berantem sama dia. Jenar nggak lagi seperti dulu. Bukan Jenar yang sayang sama gue, Ang,' Ellie menghela nafasnya, berusaha supaya air matannya nggak jatuh ke wajahnya.

'Lo bisa cerita sama gue, El. gue ga akan kasih tau siapa-siapa,' tawar Anggara.

'Ang, pinjem pundak lo sebentar,' Ellie menyandarkan kepalanya di bahu Anggara dan membiarkan air matanya mengalir. Anggara cuma bisa merasakan jumper-nya basah oleh air mata Ellie. beberapa menit berikutnya berlalu seperti itu.


Semuanya masih damai-damai aja sampai tiba-tiba ada derap langkah gusar menaiki tangga, membuat Ellie mengangkat kepalanya dan mengusap air matanya. Ia mengenali derap langkah itu. Jenar. dari derap langkahnya saja Ellie langsung mengenalinya. Pemuda 180 cm itu menghampiri Anggara dan Ellie dengan langkah cepat dan segera menarik tangan Ellie dengan genggaman yang kuat.

'Jen sakit!' Ellie mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Jenar tapi usahanya nihil. nggak bisa lepas.

'𝗡𝗴𝗮𝗽𝗮𝗶𝗻 𝗹𝗼 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗱𝗶𝗮?!' bentak Jenar. kondisinya, Anggara masih ada bersama mereka. '𝗟𝗼 𝗺𝗮𝘂 𝘀𝗲𝗹𝗶𝗻𝗴𝗸𝘂𝗵, 𝗵𝗮𝗵?!' Jenar udah siap-siap mau mukul Ellie pake tangan sebelah kirinya tapi sebelum tangan itu mendarat di wajah Ellie, udah di tahan sama Anggara.

'𝗡𝗴𝗮𝗽𝗮𝗶𝗻 𝗹𝗼 𝗶𝗸𝘂𝘁-𝗶𝗸𝘂𝘁𝗮𝗻?!' Jenar makin ngegas lagi sambil berontakin tangan kirinya yang dipegang ga kalah kenceng sama Angga.

'Lepasin dulu tangan lo dari Ellie,' Angga boleh lebih pendek dari Jenar, tapi itu nggak membuat dia takut untuk membela Ellie. Angga suka Ellie, tapi dia mundur karena keduluan sama Jenar. Angga masih sayang sama Ellie dan dia ga bisa diam aja waktu lihat Jenar semakin abusive sama Ellie.

'Ang udah,' Ellie berusaha melerai mereka berdua tapi malah Ellie yang berakhir terpental karena tenaga dua cowok itu udah kayak kerbau lagi narik bajakan sawah. 'Jenar, gue udah capek harus nangis dan bertengkar terus sama lo. mulai sekarang, lo nggak ada hak lagi atas gue. gue punya hidup gue sendiri. kita putus,' Ellie dengan tegas mengucapkan itu. padahal dalam hati sakit banget rasanya. tapi dari pada semua itu membebani Ellie nantinya. ya, memang harus begitu.

'El, lo ga papa kan?' tanya Anggara sembari memeriksa dagu Ellie yang lebam oleh karena nggak sengaja tertonjok oleh Jenar atau Angga.

'It's okay, gue udah capek liat muka Jenar. kita boleh pergi dari sini nggak?' tanya Ellie sembari mengambil tasnya dan menggenggam kristal berwarna peach itu di tangannya.

Anggara mengangguk dan menggandeng tangan Ellie lembut. tangannya hangat, dan genggaman itu menenangkan.


Angga menyerahkan helm untuk Ellie dalam diam. Hari ini, Angga yang nganter Ellie pulang ke kosan tempat dia tinggal. Arahnya beda sama kosan Angga, tapi nggak papa. seenggaknya itu bisa membuat Ellie bebas menangis di punggung Angga yang terbalut jaket kulit berwarna hitam itu. setidaknya itu jadi pertanda sekarang Angga bisa jadi sandaran buat Ellie. Meskipun itu berarti butuh waktu untuk menyembuhkan luka hati Ellie, Angga rela menunggu. Ada kesempatan buat Anggara untuk mendekati gadis yang masih jadi mbak crush Angga.

'El, besok gue jemput ya,' tawar Angga sesampainya di depan pagar rumah kosan Ellie.

'Nggak repot? kan jauh dari kosan lo,' tanya Ellie.

'Nggak kok,' Angga tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑖𝑡𝑢 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑟𝑡𝑖 𝑔𝑢𝑒 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑛𝑔𝑒𝑙𝑖𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔𝑖𝑛 𝑙𝑜 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑒𝑚𝑏𝑢𝘩𝑘𝑎𝑛 𝑙𝑢𝑘𝑎 𝑙𝑜, 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑠𝑒𝑗𝑎𝑢𝘩 𝑎𝑝𝑎𝑝𝑢𝑛 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑔𝑢𝑒 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛𝑖𝑛, 𝐸𝑙,” ungkap Angga dalam hatinya sembari menatap mata Ellie.

'Makasih ya, Ang,' Ellie tiba-tiba memeluk Angga.

'Anytime, Ellie,' Angga mengangguk dan membalas pelukan singkat itu.

'See you tomorrow, Anggara!' Ellie melepas pelukannya sembari berjalan masuk ke dalam kos-kosan.

'memarnya jangan lupa diobatin, El,' Angga berpesan, disambut anggukan gadis yang baru aja balik badan dan melambaikan tangannya buat Angga.

“𝑀𝑎𝑘𝑎𝑠𝑖𝘩, 𝐴𝑛𝑔𝑔𝑎𝑟𝑎. 𝑙𝑜 𝘩𝑎𝑑𝑖𝑟 𝑑𝑖 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑝𝑎𝑡. 𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑙𝑜 𝑖𝑡𝑢 𝑘𝑎𝑦𝑎𝑘 𝑏𝑎𝑡𝑢 𝑃𝑒𝑎𝑐𝘩 𝑄𝑢𝑎𝑟𝑡𝑧. 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛 𝑔𝑒𝑗𝑜𝑙𝑎𝑘 𝘩𝑎𝑡𝑖 𝑔𝑢𝑒. 𝑑𝑎𝑛 𝑔𝑢𝑒 𝘩𝑎𝑟𝑎𝑝 𝑘𝑖𝑡𝑎 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑠𝑎𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑛𝑔𝑒𝑑𝑢𝑘𝑢𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑢𝑎𝑡𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑑𝑒𝑝𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎. 𝑀𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑖𝑛𝑖, 𝑙𝑜 𝑎𝑑𝑎 𝑏𝑢𝑎𝑡 𝑚𝑒𝑛𝑔𝘩𝑒𝑛𝑡𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑖𝑠𝑎𝑢 𝑖𝑡𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑔𝘩𝑢𝑛𝑢𝑠 𝑗𝑎𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔 𝑔𝑢𝑎 𝑙𝑒𝑏𝑖𝘩 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚. 𝑏𝑒𝑠𝑜𝑘-𝑏𝑒𝑠𝑜𝑘 𝑠𝑖𝑎𝑝𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑢,” ucap Ellie dalam hati setelah melihat motor Angga melaju meninggalkan halaman depan kos-kosan putri tempat ia tinggal.


The End


5/11/2020: 𝐏𝐚𝐧𝐭𝐨𝐧𝐞 𝟏𝟑-𝟏𝟏𝟐𝟓