From Long Gone But Never Forgotten A short Narration


Ini tentang Arteez dan Juniar Angkasa Limantara (Lee Junyoung). Nggak banyak yang kenal Jun. Walau sekarang Jun jauh, tapi Jun tetap punya tempat spesial di hati Kakak-kakak Arteez.


Udah 3 tahun berlalu sejak Jun mulai sering nongkrong bareng di kontrakan tempat Krisna, Rama, Jovan, Kenzie, Sanjaya, Mahanta, Joseph dan Jafar tinggal. Dulu, waktu awal-awal mereka tinggal di sana, rasanya Jafar masih SMA dan sering banget ngajar tutoring buat adik kelasnya.

Namanya Juniar, setahun lebih muda dari Jafar dan sering kegiatan kepanitiaan bareng Jafar. Alhasil, kalo rapat kepanitiaan, Jun sering nebeng nginep di kontrakan, bareng Jafar. Sayangnya, akhir tahun 2018, Jun harus hijrah ke Amerika untuk menjalankan studinya. Walau begitu, sampai saat ini, Jun masih sering bertukar pesan atau sekedar ngobrol bareng sama kakak-kakak ARTEEZ yang selama ini jadi temen mainnya selain temen-temennya di sekolah.

Kalau kangen Indonesia, Jun pasti langsung menghubungi salah-satu kakak-kakaknya itu. Hari itu, masih di bulan Ramadhan, Siang yang cukup terik menyinari kota Jakarta. Kalo kata Joseph, bawa aja wajan sama telor keluar, terus wajan nya ditaruh di jalan, entar bisa bikin telor ceplok gausah boros gas. 8 anak muda tampan itu sedang duduk di ruang tengah sambil melakukan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang asik bermain playstation, ada yang sibuk nyiapin menu berbuka buat yang lagi berpuasa, ada yang sibuk dengan setumpuk sumber pustaka buat skripsinya, ada yang sibuk nonton Netflix, dan ada juga yang masih menjalani kelas Kul-On alias Kuliah Online.

Tiba-tiba terdengar si bungsu, Jafar, menghela nafasnya. Sebenernya Jafar cuma habis scrolling galeri foto ponselnya, ngeliatin foto-foto liburan ke Suramadu beberapa tahun silam, bareng sama Juniar, tepat sebelum peristiwa penuh air mata alias nganter Jun ke airport untuk melepas pemuda, yang kala itu masih berusia 17 tahun, meninggalkan Indonesia untuk menempuh pendidikan dan petualangannya di Amerika.

‘Kangen ya,’ Mahanta menarik bangku dan duduk di samping Jafar sambil menatap layar ponsel Jafar.

‘Kira-kira sekarang kabar Jun gimana ya, bang?’ tanya Jafar sambil masih menatap foto-foto liburan terakhir mereka bersama Jun.

‘Dulu, terakhir kali kita facetime sama Jun, dia masih nangis-nangis karena nggak betah di sana. Inget nggak?’ Mahanta menopang dagunya. Saat itu, bak film, semua memori yang mereka lewati bersama Jun seperti berputar kembali dalam otak pemuda 183 cm itu.


Flashback—

Seperti biasa, hari itu Jafar pulang ke kontrakan berdua sama Jun. Belakangan, Jun sering banget nginep di kontrakan ARTEEZ. Jun bukan tipe yang banyak omong, tapi setiap kali dia nginep, semua anak ARTEEZ ngerasa kalau kehidupan mereka lebih berwarna. Mama dan papa Jun kenal deket juga sama anak-anak di kontrakan, terutama Rama, Krisna dan Jafar. Sebenernya, frekuensi Jun yang jadi lebih sering menginap di sana merupakan cara Jun untuk mengutarakan sesuatu sama kakak-kakak yang disayanginya itu. Jun mau pamit karena hasil ujian masuk nya ke University of Columbia sudah keluar dan Jun harus segera bertolak ke negeri paman sam dalam waktu dekat.

Malam itu, libur kenaikan kelas terakhir Jun di Jakarta.

‘Mas Krisna, Jun boleh ngobrol sama Mas nggak?’ pinta Jun. Saat itu, ruang tengah sudah kosong. Tinggal Krisna dan Rama.

‘Sama Rama juga?’ tanya Krisna setelah membalas permintaan Jun dengan anggukan.

Jun hanya mengangguk. Dari tadi, Jun hanya bisa menatap permukaan meja makan dengan gelisah. Rama dan Krisna cukup peka untuk menangkap kegelisahan adik bungsu satu ini.

‘Jun mau ngomong apa?’ Rama memulai pembicaraan.

‘Jun, ngomong aja. Mas Krisna sama Mas Rama bakal bantu kalo kita sanggup,’ Krisna berujar. Suaranya lembut dan menenangkan banget. ‘Nggak lagi berantem sama Jafar kan?’

Jun menggeleng menjawab pertanyaan terakhir dari Krisna. ‘Anu – ehm – gimana ya ngomongnya. Sebenernya, Jun mau pergi, jauh. Kemarin emailnya baru diterima, Jun lulus tes dan harus berangkat ke Amerika bulan depan. Tapi—’ Jun terdiam sesaat.

‘Tapi?’ Tanya Rama.

‘Jun nggak rela ninggalin kakak-kakak di sini. Rasanya baru sebentar kenal sama kalian. Baru aja mulai akrab, tapi harus pisah,’ pemuda 17 tahun itu menunduk.

‘Jun, kita emang bakal kepisah sama jarak dan waktu, tapi kita masih bisa komunikasi kok. Kalo kangen, ada skype atau whatsapp call buat ngobatin kangennya sementara.’ Krisna tersenyum dan menepuk bahu adik yang terpaut 3 tahun lebih muda darinya itu.

‘Gimana kalau kita semua liburan ke Surabaya, sekalian liat jembatan Suramadu buat perpisahan sama Jun,’ usul Rama. ‘Nanti kalo semua oke saya ambil cuti.’

‘Omongin liburannya aja dulu, ga usah bawa-bawa soal kuliahnya,’ usul Krisna.

Ternyata, tanpa mereka sadari, dari tadi di balik tembok ada yang sembunyi, awalnya oknum mencurigakan ini hanya ingin ambil minum di dapur. Tapi, waktu dengar pembicaraan serius antara tiga orang tadi, nggak jadi-lah mereka ngambil minum. Yang ada, dua sekawan alias Sanjaya dan Joseph malah ngumpet sambil nguping di balik tembok yang menyekat ruang makan dan ruang tengah itu.

‘San, Joseph,’ Rama yang peka banget sama suara grasak-grusuk di balik tembok langsung memanggil duo heboh itu untuk keluar dari persembunyian mereka.

‘Cuma mau ambil minum doang kok,’ Joseph ngeles.

‘Tapi seriusan kan, Dek? Bukan prank doang?’ Sanjaya menatap serius ke arah Jun, mencari mata sang adik.

Jun hanya mengangguk sambil menatap San. Kehabisan kata-kata. Sanjaya tersenyum dan memeluk si bungsu ini. Yang nggak disangka terjadi juga. Jun yang dari tadi menahan air matanya seketika menangis sesenggukan kayak anak kecil yang baru aja ditinggal orang tuanya. ‘Jun, kita nggak kemana. Kalau Jun kangen rumah nanti, tinggal call aja ya, dek,’ Sanjaya membelai punggung Jun untuk meredakan tangis pemuda itu. Alih-alih reda, tangis Jun makin menjadi.

‘Udah disimpen lama kayaknya,’ Krisna menepuk-nepuk bahu Jun lembut.

‘Jun, tidur aja. Jangan terlalu dipikirin. Suatu saat memang harus ada perpisahan, tapi kita pasti bertemu lagi kalo Tuhan mengizinkan,’ Joseph tersenyum dan ikut memeluk Sanjaya dan Juniar.

Keesokan paginya, Krisna keluar dari kamar dan menemukan pemandangan menggemaskan di ruang tengah. Joseph, Sanjaya dan Juniar udah umpel-umpelan di sofa, tidur dengan posisi saling peluk-pelukan. Krisna sampe ngucek-ngucek matanya lagi buat memastikan itu bukan halusinasi semata. Perlahan semua mulai berdatangan ke ruang tengah dengan muka bantal masing-masing dan terkejut melihat keuwuan yang terjadi di ruang tengah.

‘Kok jadi pada tidur di sofa?’ tanya Kenzie sembari mengusap matanya dengan punggung tangannya.

‘Semalem…’ Hampir aja Rama membeberkan apa yang seharusnya jadi bagiannya Jun untuk ngasih tau semuanya. Untung terhenti setelah Krisna mencubit perut Rama. ‘ADUH! KRISNA KENAPA SIH!?’ Rama mengaduh, dihadiahi cengiran jahil dan gelengan kepala dari pemilik nama Krisna Haridra Bhamakerto tersebut.

‘Semalem ada apa?’ tanya Jafar.

‘Nanti biar Jun yang cerita sendiri. Kasian semalem mikir terus,’ kekeh Krisna sambil mengisyaratkan agar semuanya menunggu 3 beruang kecil itu di ruang makan.

Setelah semua bangun dan menikmati sarapan, Krisna memberi isyarat supaya Jun menyampaikan berita tentang kepindahannya dan liburan terakhirnya bersama teman-temannya. Sanjaya menangkap tatapan Jun yang duduk di seberangnya dan mengangguk, memberikan dukungan moral pada pemilik nama Juniar Angkasa Limantara itu.

‘Kak Jafar, Kakak- kakak semua,’ Jun mengumpulkan seluruh keberaniannya. ‘Jun mau pamit. Aduh, gimana ya ngomongnya,’ Jun menggaruk tengkuknya yang nggak gatal.

‘Mau pamit kemana?’ tanya Jovan bingung.

‘Emang adek mau kemana?’ Kenzie mengernyitkan keningnya. Bingung.

‘Anu—jun mau pamit, Akhir bulan ini, Jun berangkat ke Amerika. Mau kuliah di sana. Rencananya, Jun mau ajak kakak-kakak semua jalan bareng ke Suramadu buat trip terakhir sebelum berangkat ke Amrik,’ akhirnya Jun mengeluarkan seluruh kalimat yang disimpannya dengan rapi selama menginap di kontrakan ARTEEZ seminggu terakhir ini.

Singkat cerita, minggu berikutnya, semua bertolak ke Surabaya. Selama seminggu, mereka semua menikmati hari-hari terakhir mereka sebelum berpisah dengan Juniar, adik bungsu yang walau Cuma bertemu sebentar, tapi punya banyak cerita bersama dengan abang-abangnya. Seminggu berlalu dengan cepat. Minggu berikutnya dihabiskan dengan berbagai persiapan sebelum pemuda 17 tahun itu sungguh-sungguh bertolak meninggalkan negeri kelahirannya untuk menempuh Pendidikan ke negeri paman sam.

Airport, Hari keberangkatan Jun ke Amerika.

‘Jun, hati-hati ya,’ Jafar yang biasanya nggak suka dengan kontak fisik memeluk adik kelas kesayangannya itu.

‘Kalau udah transit video call aja, barang sebentar,’ Rama mewanti-wanti, disambut anggukan dari yang diwanti-wanti.

‘Kak San, Kak Joseph, Adek berangkat ya,’ pamit Jun sambil mengulurkan tangannya untuk melakukan fist bump. Bukannya dibalas dengan fist bump, Sanjaya dan Joseph menarik tangan Juniar dan memeluk adik bungsu mereka.

‘Kabarin ya, dek,’ Krisna terkekeh. ‘Dek, inget ini ya, selama kita ada di bawah langit yang sama, arungilah angkasamu dan kembalilah mendarat di rumahmu di saat yang tepat.’

Ya, dengan ini, kesembilan orang ini terpisah oleh jarak dan waktu. Walau demikian, walau terkadang perbedaan waktu memisahkan mereka, delapan-delapannya selalu ada waktu tidur mereka terganggu hanya untuk mendengarkan tangisan rindu si piyik kecil yang pergi ke negeri orang.

Flashback end.—


saved: 16/04/2021 09:22 word Count: 1.402 words