Birthday Date — sebuah kisah kapal hantu JoongQ (Hongjoong ATEEZ x Q The Boyz)


Part 1. Camin's little birthday wish.


Kim Hongjoong as Hanindra Kenang Juanda (Haje) Ji Changmin as Chandrata Mintaraga Jenggala (Camin)


Rindu. Itu yang terbersit di pikiran Hanindra Kenang Juanda, pemuda kelahiran Jogja, 7 November 1998, yang kini tengah merantau di Ibu Kota Jakarta untuk mengadu nasib. Hatinya masih tertinggal di Jogja, kota kelahirannya. Tempat cinta pertamanya bersemi. Cinta pertama yang berlanjut hingga sekarang. Pemuda yang kerap disapa Haje ini merindukan pelukan sang kekasih, Chandrata Mintaraga Jenggala. Cinta pertama yang mungkin akan jadi pelabuhan terakhir hatinya.

Awalnya, usai menamatkan studinya di salah satu universitas ternama di Jogja, Pemuda 22 tahun ini hendak mencari pekerjaan di kota kelahirannya, alasannya supaya ia tak harus menjalani long distance relationship dengan kekasihnya. Namun, takdir seolah-olah mempermainkan kisah cinta mereka. Hanindra diterima untuk menjalani pekerjaan di sebuah firma arsitektur di daerah SCBD, Jakarta, sementara Chandrata, kala itu harus meneruskan bisnis mebel milik ayahnya di Jepara. Mau tak mau, keduanya membulatkan tekad untuk menjalani hubungan jarak jauh yang sudah berjalan hampir 1 tahun, pasca kelulusan mereka.

Beberapa bulan ini, semua terasa berat bagi wira tampan berambut kemerahan itu. Pasalnya, Hanindra mulai disibukkan dengan deadline yang mengikat lehernya, begitu pula Chandrata yang harus membenahi sistem manajemen di usaha yang telah dirintis sang ayah. Keduanya jadi jarang berkomunikasi. Kadang komunikasi mereka hanya sebatas obrolan singkat di aplikasi pesan digital yang ada di smartphone mereka.

“Han, draft buat Pak Ardi udah selesai?” suara berat Hasta, rekan sekerja Hanindra, memecah lamunan pemuda Introvert yang tengah mengutak-atik aplikasi autocad di laptopnya itu.

“Masih ada beberapa hal yang kurang, Ta. Jam 12 kelar, kok,” pemuda berambut strawberry blonde itu menggeleng sambil mengusap wajahnya yang nampak belum tidur sekurang-kurangnya 24 jam terakhir ini.

“Lo udah berapa hari lembur, Han?” Hasta bertanya lagi. Pasti bingung siapa Hasta-Hasta ini. Hasta adalah rekan Hanindra, sesama drafter di firma tempat mereka bekerja. Sesama pejuang lembur juga. Tak jarang keduanya bermalam di kantor untuk menyelesaikan draft autocad punya client mereka. Surya Hasta Raharja, itu nama lengkapnya.

“Kak Han, hari ini meeting sama Pak Tyo, ya. Ada klien baru lagi,” Kini suara muncul dari pemuda yang sedikit lebih tinggi dari Hanindra, punya lesung pipit kalau dia tersenyum. Namanya, Sanala Pramoedya. Rambutnya tak kalah nyentrik dengan Hanindra, abu-abu platinum, sepertinya.

Ujaran Sanala barusan membuahkan kekehan jahil dari oknum berambut hitam, lirik mata jenaka dan tahi lalat dibawah mata. Winata Kala Senja namanya tapi suka dipanggil Wika. Suka ngetawain kakak-kakak maupun teman-temannya kalau mereka lagi ketiban banyak kerjaan. Tapi biasanya selalu dapet karma instan setelah dia ngetawain.

“Lo nggak usah ketawa-ketiwi, Wika. Hari ini ada site visit ke Cikarang. Bareng Pak Lianto.” Sanala berujar sambil menilik papan jalan yang berisi jadwal punya teman-temannya. Si surai platinum ini sering kali dapat julukan living planner karena dia paling tahu jadwal teman-teman sekerjanya.

Seketika itu juga, Wika yang tadi masih ketawa-ketiwi berubah muram.

“Karma datangnya seketika, Bro,” kali ini sahutan dari jangkung bersurai perak yang tengah menyalakan mesin kopi di sudut ruang kerja mereka. Si jangkung ini namanya Michael Giantara, biasa disapa Migi. Dia biasanya membantu Hasta dalam hal perspektif ruangan.

Kadang, hiruk-pikuk tempat kerja seperti ini membuat Hanindra lupa penatnya tahun-tahun pertama bekerja. Tak sedikit keributan terjadi di ruangan berisi 8 orang dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Hanindra dan Hasta lulusan Desain Arsitektur, Migi dan Wika lulusan Desain interior, Yulius dan Sanala lulusan Manajemen Pemasaran. Yang terakhir tapi tak kalah pentingnya, Jordi dan Sangkuh, yang berlatar belakang Teknik Sipil. Tim yang beragam, tapi itu semua mampu membuat Hanindra lupa akan beratnya beban kerja sebagai drafter.


Pekerjaan memang menyita sebagian besar waktu mereka. Acap kali baik Hanindra maupun Chandrata lupa waktu makan, bahkan berjam-jam bergelut di balik layar komputer dan hamparan blue-print.

Namun, tanggal 4 November, seusai jam kerja, Hanindra memutuskan untuk mengambil cuti selama seminggu untuk pulang ke Jogja, kota kelahirannya, tempat cintanya tertinggal. Sekalian juga menjenguk papa dan mamanya yang kini hanya tinggal berdua di Jogja. Begitu pula Chandrata, pemuda penyuka film horor ini pun meninggalkan villa keluarganya yang jadi tempat tinggalnya selama membenahi bisnis ayahnya itu, kembali ke Jogja. Tanpa ada janji bertemu, tanpa ada koordinasi satu sama lain, keduanya bertolak ke Jogja.

Malam itu, Jogja diguyur hujan lebat. Entah mengapa, satu yang terpikir oleh Hanindra yang tengah menunggu di Bandara. Menghubungi Chandrata. Hanindra mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menekan speed dial nomor 1, 𝐜𝐚𝐦𝐢𝐧 begitu nama yang tertera di ponselnya.

“Halo,” Suara dari seberang menyapa.

“Min, aku udah di Jogja. Ehm... kamu bisa jemput nggak. Hujan deres disini,” Hanindra bertanya.

“Astaga. Kamu kok nggak bilang-bilang kalau mau pulang, toh? aku udah deket bandara. tunggu bentar lagi ya. tadi sore dari Jepara,” yang dipanggil 'Min' menyahut dari seberang.

“Lha, belom balik rumah, ta?” tanya Hanindra lagi.

“Udah sih, cuma tadi lagi cari makan di luar. kamu stand by ae, sayang. aku udah deket,” balas suara seberang lagi.

“Camin,” panggil Hanindra.

“Iya, Haje sayang, kenapa?” tanya si pemilik suara.

“Hati-hati. Di luar hujan kuenceng, pelan-pelan aja. ndak usah ngebut-ngebut,” Yang dipanggil Haje tersenyum, walau tak terlihat oleh pemilik suara seberang.

“Iya, iya. kamu juga,” Chandrata menutup percakapan dan kembali fokus menyetir mobilnya. Dan panggilan pun berakhir.

Tak berapa lama kemudian, mobil Honda CRV hitam muncul di pelataran parkir Bandara Adi Sucipto. Chandrata turun dari mobil dan segera berlari ke dalam, menjemput kekasihnya yang tengah duduk di bangku sebuah cafe dengan kantuk yang nampak tak tertahan lagi.

“Je, Haje,” pemuda bersurai kemerahan itu berjongkok di depan bangku kekasihnya.

Yang dipanggil 'Haje' itu membuka matanya dan menatap Chandrata si tampan yang tengah memamerkan lesung pipitnya. Pemuda itu kemudian memeluk kekasihnya. Siapapun tahu saat itu, Hanindra sedang melepaskan segala beban yang menekan bahunya. Chandrata pun segera membalas pelukan itu dengan dekapan hangat. “Aku kangen,” hanya itu yang keluar dari mulut Hanindra. Ia nggak sanggup berkata-kata lagi, saking lelahnya.

“Ke mobil dulu aja. barangmu biar aku aja yang bawa. nanti malem kamu nginep ndek rumahku aja, besok baru balik ke rumah papa,” Chandrata menarik koper Hanindra dengan tangan kirinya sementar tangan kanannya merangkul sang kekasih.

“Camin, besok kamu ulang tahun. Kita rayain bareng ya? Udah lama aku nggak ngerayain ulang tahunmu,” Ungkap Hanindra.

“Iya, tapi kamu istirahat dulu. liat tuh, mukamu tuh loyo banget. pasti kamu belom tidur cukup selama seminggu ke belakang,” Kini Chandrata melepas tautan diantara mereka dan memasukkan koper Hanindra ke dalam mobilnya. setelah itu, ia beralih membukakan pintu untuk Hanindra barulah ia duduk di bangku kemudi.


“Bu, hari ini Hanindra nginep di sini ya,” pamit Chandrata pada ibunya yang masih duduk di ruang keluarga.

“Oh, ada Hanin toh. Ya wis. ke kamar aja langsung, Kak. Suruh istirahat aja dulu,” seorang wanita paruh baya mengangguk.

“Makasih, Bu. Maaf Hanin numpang ngerepotin ibu hari ini,” Hanindra mengangguk dan memberi salam pada wanita itu.

“Kayak sama siapa aja, nak,” Wanita itu tersenyum.

“Yuk,” Chandrata menggandeng tangan Hanindra menuju kamarnya yang ada di lantai dua. “Habis ini mandi dulu aja. terus tidur. Tak bikinin coklat panas, doyananmu.”

“Yes, Mom,” canda Hanindra pada kekasihnya yang langsung dibalas dengan jitakan pelan.

Malam itu, usai meminum coklat panas buatan Chandrata dan mandi, Hanindra langsung tenggelam dalam alam mimpinya, membayar hutang tidurnya selama bekerja kemarin. Dia yang biasanya tidur sendirian, kini dikungkung pelukan hangat sang kekasih. Ke lengan kekar itulah akhirnya Hanindra berpulang. Mimpinya begitu indah dan menenangkan sepanjang malam.

Nggak ada lagi acara terbangun dari tidur karena mimpi buruk. Kalau ada Chandrata di sebelahnya, rasanya separuh beban yang ada di pundaknya terangkat. Semua berlaku sebaliknya juga ke Chandrata. Kalau ada Hanindra di sebelahnya, jalan yang dilaluinya serasa tak berbatu, tak bergejolak.


5 November,

Hanindra terbangun dengan sosok Chandrata yang masih mendengkur di sampingnya. Hanindra tersenyum dan membelai rambut Chandrata. Senyum terukir di bibir merah milik pemuda 22 tahun itu. “Selamat ulang tahun, Sayang,” bisik si rambut kemerahan itu sambil mengecup manis bibir tipis Chandrata.

Chandrata membuka matanya perlahan, mendapati wajah Hanindra baru saja sedikit menjauh darinya. Tangannya kemudian melingkar di pinggang yang lebih kecil itu. “Thanks for the best present, Haje,” lesung pipit terukir manis di kedua pipi wira yang rambutnya senada dengan kekasihnya itu.

Kepala Hanindra kini mendekat lagi, jarak diantara mereka semakin menipis. kini, bibir merah Hanindra menjelajahi seluruh wajah Chandrata. Yang diserang kecupan hanya menerima dan memejamkan matanya, menikmati setiap kecupan lembut kekasihnya sambil tersenyum disela-sela ciuman kecil di pagi hari itu.

Yang diciumi wajahnya itu hanya menyerah dan melingkarkan tangannya semakin erat di pinggang kekasihnya. “Ini masih di rumah Ibu, kalau kamu inget, Je,” bisik Chandrata mengingatkan.

“Kalo gitu kita ke hotel gimana? sekalian ngedate ke Borobudur dulu entar,” seringai khas Hanindra muncul menghiasi bibirnya.

“Najis kamu, sus banget,” Chandrata mendorong wajah kekasihnya agar menjauh darinya.

“Kamu mau kan?” Hanindra menggerakkan alisnya jenaka sambil nyengir jahil.

“Mandi dulu gih. udah jam 7, nanti keburu panas. Sumuk, nggak enak,” Chandrata berdiri dari ranjangnya, salah tingkah mendengar pertanyaan jahil Hanindra barusan.

“Camin,” panggil Hanindra sambil menarik tangan Chandrata lembut membuat sang pemuda 175 cm itu berbalik menghadapnya. “I'm your birthday present,” Hanindra mengecup bibir yang lebih tinggi lembut dan membiarkan Chandrata berlalu ke kamar mandi.

“HAJE BISA NGGAK SIH NGGAK USAH BIKIN AKU MLEYOT GINI PAGI-PAGI,” Chandrata kemudian berteriak dari kamar mandi. disusul kekehan lembut dari pemilik nama panggilan Haje itu.

“Harapanku cuma satu, bisa sama kamu sampai maut menjemput, Je. Cuma itu aja birthday wish aku. Aku nggak tahu aku jadi apa tanpa kamu,” begitu ucap Chandrata dalam hati.


FIN