Bintang Yang Tak Redup Tentang Christian Sanjaya Sadawira di Jendela Waktu Lain.


Starring: Maira Julianne Wijayanti (Lim Dayoung WJSN)


“San, it’s been 5 years since she left. She must’ve wanted you to be happy. Coba deh buka hati lu buat orang lain,”

Komentar berikut sering kali dilontarkan oleh Joseph kalau San udah mulai menolak cewek yang kerap kali bergerak duluan untuk PDKT atau mengakui perasaan mereka pada pemuda tampan bergaris rahang tegas itu. San masih stuck. Stuck sama cinta pertamanya yang sekarang udah berpulang ke Surga. Liontin pemberian Ara-pun masih setia melingkari lehernya. Ara boleh pergi dari kehidupan Joseph dan San. Tapi, memori tentang Ara tak pernah lepas dari hati kedua wira tampan kelahiran 1999 itu.

Selepas kepergian Ara, San memutuskan untuk nggak terlalu memikirkan tentang move on ataupun mencari pengganti posisi Ara di hatinya. Seakan-akan ada pintu hati yang sengaja dikunci rapat-rapat oleh pemuda berlesung pipit itu. Lain San, lain halnya dengan Joseph. Setahun belakangan ini, Joseph beberapa kali terlihat menyibukkan dirinya dengan program perjodohan modern alias ‘blind date’ yang disiapkan kedua orang tuanya. Joseph sempat mengajak Sanjaya ikut acara semacam itu, namun hasilnya nihil.

Hari itu, San membantu papanya untuk ngajar kelas taekwondo untuk anak-anak balita di Dojang. Dojang garapan ayahnya ini sudah berdiri sejak San dan kakak perempuannya, Christy, masih kecil. Sewaktu Ara masih hidup dulu, gadis kelahiran 14 April 1999 itu kerap kali mengatakan bahwa San cocok ngajar kelas untuk anak-anak kecil.

‘Sabeom!’ Seorang gadis kecil kira-kira berusia lima tahun maju keluar dari barisan tempat teman-temannya berkumpul.

‘Aira, mau pimpin pemanasan?’ tanya San sambil tersenyum tanpa melepas posisi kuda-kuda santainya.

Aira, gadis berkuncir kuda itu mengangguk penuh semangat, membuat memori masa kecil San kembali berputar dalam memorinya. ‘Sabeom-nim kkee kyeonglye!’ (Sabeom-nim Kye Kyeongnae: Beri hormat kepada Sabeom) ujarnya dengan logat anak kecil yang sangat menggemaskan.

12 anak usia 4-6 tahun yang berbaris di hadapan San dengan kompak membungkukkan badan mereka dan memberi hormat kepada pemuda 24 tahun itu. ‘Charyeot, Joonbi!’ ( Charyeot: bersiap; Junbi: posisi siap.) Kali ini, pemuda 176 cm itu berseru dengan lantang, yang kemudian disambut dengan perubahan posisi kuda-kuda murid-muridnya.

Kelas hari itu berjalan lancar, seperti biasanya. Tanpa ia sadari, ada sepasang mata mengamatinya. Yang jelas, mata itu bukan milik kakak maupun ayahnya. San pun menyadari ada sosok yang tengah menonton dari balik tembok. Kelas sudah berakhir pukul 4 sore. Anak-anak sudah pulang, yang tersisa di situ hanya San, yang masih menenggak sebotol air dingin yang telah disiapkan kakaknya, dan dara yang masih bersembunyi itu.

‘Keluar aja, udah pada pulang kok,’ San terkekeh ringan sembari mengusap kepalanya yang basah oleh keringat dengan handuk kecil. Ternyata, dia sadar juga diliatin.

Gadis itu muncul dari balik persembunyiannya, malu-malu karena udah kegep sama obyek yang lagi dia amati. San seperti terbius ketika menatap kedua manik mata coklat milik gadis berambut ekor-kuda di hadapannya. Rasanya, seakan ada sesuatu yang pernah hilang dari hari-harinya kembali datang menghampirinya. Tapi San masih belum tau apa itu. Yang jelas, it seems so familiar to him. Dobok atau seragam taekwondo masih melekat di tubuh mungil sang dara. Kalau dari sabuk yang dikenakan gadis itu, ia nampak belum terlalu lama berlatih taekwondo di dojang.

‘Baru mulai taekwondo kah?’ San mengawali perbincangan walau sedikit canggung.

‘Iya, maaf lancang ngintip kelas kamu,’ sang gadis menunduk malu-malu.

‘Pasti karena kelas gue rame banget,’ kekeh San. Yang disambut anggukan dan senyum manis dari gadis yang rambutnya diikat ekor-kuda itu.

‘Kamu keren bisa ngajar anak-anak kecil,’ puji gadis itu lagi.

‘Gue emang suka anak-anak. Anyways, lo ikut kelas Kak Christy?’ tanya San.

‘Aku dilatih sama Kak Christy. Tapi kayaknya aku mulai telat banget ya? 24 tahun baru banget mulai Taekwondo,’ Gadis itu terhenti sejenak. Ia bahkan belum memperkenalkan dirinya. ‘Oh iya, Aku Maira.’ Ia mengulurkan tangannya.

‘Gue San,’ San menyambut tangan gadis itu sambil tersenyum. ‘Adiknya Kak Christy,’ lanjutnya. ‘Actually, lo nggak telat kok. Nanti, kalau semisal lo butuh temen buat extra practice poomsae atau kyukpa, hubungin gue aja.’ (poomsae: koreografi taekwondo yang menyerupai tarian dengan gerakan dasar taekwondo. Kyukpa: menghancurkan papan dengan tendangan atau pukulan)

‘semuanya mulai dari kecil, sementara aku mulai dari umur segini,’ Maira menghela nafasnya.

‘Hey, jangan gitu.There’s no late in starting anything. Yang penting niat dan ketekunan lo aja.’ Kekeh San santai. ‘Anyways, gue laper. Gimana kalau sekarang kita ganti baju dan beres-beres. Habis itu let’s go grab some healthy dinner,’ ungkap San sembari mulai bergerak merapikan ruang latihan indoor itu dan mengangkat tas nya.

Maira mengangguk dan membantu San. Setelah itu, keduanya berjalan ke ruang ganti (yang tentunya terpisah antara cowok dan cewek) untuk mandi dan mengganti pakaian mereka yang udah basah sama keringat.


Pertemuan pertama mereka berakhir di halaman depan rumah Maira. San turun dan membukakan pintu mobilnya untuk sang dara manis yang mengisi bangku penumpang di sampingnya.

‘Thanks ya, San,’ ujar Maira sambil tersenyum.

‘Ketemu lagi di dojang ya,’ San berpamitan sambil bersandar di mobil dan menunggu sampai Maira masuk ke dalam rumahnya.

‘Pasti!’ Maira tersenyum. Ada binar di kedua manik coklat Maira yang begitu membuat seakan-akan San tersihir olehnya. ‘San…’ Maira memanggil San yang udah balik badan mau masuk ke mobilnya.

‘Ya?’ San menoleh dan membalik badannya menghadap gadis yang kini sudah masuk ke dalam pagar halaman depan rumahnya.

‘Nanti kabarin aku kalo kamu sampe. Pinjem handphone kamu,’ ucap gadis manis berambut panjang itu.

San hanya mengangguk dan menyerahkan ponselnya.

‘Jangan lupa kabarin aku,’ si pemilik nama Maira itu memasukkan nomor ponselnya di dalam kontak ponsel San dan mengembalikkan benda berlayar datar itu pada sang pemilik yang berdiri di hadapannya.

‘Gue balik ya. Ketemu lagi hari Selasa, Mai! Jangan telat. Sebelum kelas sama Kak Christy, lo harus latihan Taegeuk Yijang sama gue,’ Inilah San dan segala upaya modusnya.


Mata Maira mengingatkan San pada sesuatu yang amat familiar. Seseorang yang selalu mengisi pikiran San. Yang sudah jadi bintang terang di atas sana, seseorang yang membuat San gagal melangkah ke depan. Ya, kedua manik coklat itu mengingatkan San pada sepasang orbit coklat milik almarhum Ara. Hari itu, pemuda yang tengah mempersiapkan tugas-tugas kampusnya berhenti dari rutinitasnya itu dan membuka album foto berisi seluruh kenangannya bersama gadis yang sempat mengisi hari-harinya dahulu kala.

San menatap foto kelulusan SMP mereka. Di sana nampak Ara yang tengah memeluk lengan San dan menatap wajah San dengan wajah gembira yang separuhnya masih tertutup masker. Ya, mata itu, mata yang selalu tabah dan gembira menghadapi hari walau tahu hidupnya tinggal sebentar lagi. Mata kecoklatan itu yang membuat San nggak pernah bisa memalingkan hatinya pada wanita lain.

‘San,’ terdengar suara dari balik pintu kamarnya.

San mengusap air matanya dan menutup album penuh kenangan itu sembari beranjak membukakan pintu bagi orang yang bertamu ke kamarnya. Dari suaranya, San tahu itu Krisna. ‘Ya kenapa, Bang?’ tanya San, suaranya masih sedikit parau seperti orang yang menahan tangis.

‘Astaga, lo kenapa?’ tanya Krisna yang langsung nyeruduk masuk ke kamar San.

‘Nggak papa, bang,’ San menggeleng.

‘Bohong, nggak mungkin lu nggak papa, San,’ Sahut Krisna sambil mengambil album yang masih bertengger manis di ranjang San. ‘Sanjaya & Tiara,’ Krisna bergumam membaca tulisan di label usang yang menutup laman depan album tersebut.

San terdiam, kepalanya tertunduk. Air mata yang tadinya tertahan di pelupuk matanya kini meleleh membasahi pipinya dan jatuh ke punggung tangan yang bertumpu di lututnya, berusaha menyangga separuh berat tubuhnya. ‘Nggak mungkin dia donorin matanya kan? Nggak mungkin dia ninggalin sesuatu selain liontin ini kan?’

‘Lu pasti kangen sama Tiara ini kan?’ Krisna menepuk-nepuk punggung San.

‘Dia cinta pertama gue. Tapi, sampe sekarang gue nggak bisa ngelupain dia, banyak hal yang dia ajarin ke gua, tanpa gue sadari,’ jawab San, masih bersimbah air mata dan menangis tersedu-sedu.

‘Mungkin, bintang terang itu sekarang akan dateng lagi ngewarnain hari lo,’ Krisna masih berusaha menenangkan Sanjaya.

‘San, Ara di atas sana, ngeliat lo sedih gini pasti dia juga sedih. Dia pengen lu bahagia di sini,’ Joseph yang tadi sempat mengintip ke dalam kamar San akhirnya nyeruduk masuk juga.

‘Gue liat mata Ara, tapi dia bukan Ara, Seph. Orang lain. Tapi matanya…’ Sanjaya tersendat. Seluruh rasa rindu yang selama ini tertahan dalam dadanya seakan keluar begitu saja. Bintang terang yang dulu pernah menyinari malam kelamnya, yang masih menjaganya sampai saat ini.

‘San, tenangin diri lo. Besok gue mau kasih tau sesuatu sama lo. Tapi nggak di saat seperti ini,’ Tukas Joseph sambil membantu Krisna menenangkan Sanjaya.


[BERSAMBUNG]

Saved: 26/04/2021 12:47 Word Count: 1.376 words