Baruna Baswara Bayanaka


Choi san as Sankara Khalik Semesta You as Hestia Amara Sara Arunika


Baruna Baswara Bayanaka, dalam bahasa sansekerta artinya Samudera yang Kilaunya Luar Biasa. Pantai di Bali banyak rupanya. Ada yang tersembunyi di balik jurang, ada yang sulit dijangkau. Semua itu punya kilau tersendiri yang mampu menyedot atensimu. Sama sepertimu, wahai Hestia Amara Sara Arunika, kamu mampu menarik seluruh atensi ku dan membuatku ingin mendapatkanmu dengan segala kilau warna yang tersembunyi dalam dirimu.

— Sankara Khalik Semesta

Mengenalmu, layaknya mengarungi 7 samudra; Tak ada habisnya. Aku tak tahu berapa purnama lagi harus kuhabiskan untuk menguak segala misteri tentangmu. Bagaikan semesta yang menyimpan jutaan misteri, begitu pula dirimu, Sankara Khalik Semesta. Ku harap kisah kita ini akan penuh petualangan. Tak hanya mengarungi tujuh samudera tapi juga mengarungi semesta yang tiada batas.

— Hestia Amara Sara Arunika


Bali, 17 November 2021

Tak seorang pun tahu alasan Sankara Khalik Semesta hijrah ke Bali. Padahal, karirnya sebagai seorang pengajar di sebuah montessori di Jakarta sudah tergolong mapan dan berhasil. Benar kata pepatah, Pulau Dewata punya ribuan cara untuk menghipnotis dan menarikmu untuk tinggal dan menetap di sana. Hal itu berlaku untuk semua orang dan Sankara adalah salah satunya dari sekian banyak orang yang tersedot oleh daya tarik sang Dewata ini.

Sudah setahun terakhir ini ia habiskan di Pulau Dewata. Menjelajahi pantai demi pantai, hamparan laut yang membiaskan kilau matahari, menikmati indahnya semesta, seperti namanya, Sankara Khalik Semesta, yang artinya“keberuntungan dari sang pencipta semesta”, pemuda itu bersyukur bisa dimanjakan oleh sang pencipta semesta dengan gelimang keindahan Bali yang beragam.

Di sisi lain Pulau Dewata ada Hestia Amara Sara Arunika. Nama yang indah, cocok dengan parasnya yang Elok rupawan, surai panjang sebahu menjuntai. Ah… tak ada yang dapat menggambarkan kecantikannya secara runut. Yang jelas, nama itu cocok dengannya,“ kehangatan keluarga yang abadi dari sang puteri matahari pagi”. Cantik, bukan? Hestia, begitu ia kerap disapa teman sebayanya. Putri tunggal seorang pemilik usaha minyak atsiri ternama di daerah Buleleng, Bali.


Suasana Bali kala itu masih dipenuhi hiruk-pikuk penghujung Hari Raya Galungan. Pekan depan, penduduk setempat hendak menyambut Hari Raya Kuningan. Sankara menyusuri sepanjang jalan seminyak yang mulai ramai turis baik domestik maupun internasional. Janur Kuning khas perayaan Galungan masih menjuntai di sepanjang jalan yang ia lewati. Semerbak wangi Canang Sari pun masih mengikuti langkahnya.

Hari sabtu dan minggu kemarin, Pura di seluruh penjuru Bali-pun ramai dipenuhi umat Hindu sekitar yang beribadah dan merayakan Galungan dan Kuningan. Tak jarang pula terlihat beberapa pantai yang dikhususkan untuk ibadah didatangi penduduk lokal yang hendak berdoa pada Sang Hyang Widhi.

Sudah 2 tahun terakhir ini Sankara memilih untuk tinggal di kediaman keluarga ayahnya, di daerah Ubud. Selain mendiami rumah keluarganya dan merawat rumah itu, San juga meneruskan bisnis galeri lukisan milik mendiang ayahnya yang terletak tak begitu jauh dari tempat tinggalnya.

Bagi pemuda yang menulis inisial namanya sebagai “San” dalam semua lukisannya itu, Ubud adalah tempat yang tenang dan syahdu untuk mencari inspirasi dalam mengerjakan lukisan-lukisannya. Tapi, Ia pun menyukai sibuknya keramaian di daerah Kuta, Legian, Seminyak, dan sekitarnya. Tak jarang pula San menyelesaikan lukisannya di pantai-pantai sekitar sana.

Banyak yang memandang keputusan Sankara untuk melanjutkan galeri Almarhum Gede Satya Mahadewa itu sebagai suatu keputusan yang gegabah. Tak terkecuali Sang ibu, Putu Sarasvati Kurnia. Namun, kegigihan usaha Sankara dan dukungan besar dari sang kakak, Devika Chandrika Maharani, membuat pemuda pemilik lesung pipi itu yakin dan mantap menjalani seluruh naik-turun bisnis galeri lukisan ini.

Selain memamerkan, menjual dan melelang lukisan karyanya dan Kak Devi. kedua bersaudara itu mengelola galeri milik sang bapak dengan bantuan Wikolia Ksatria Julian, sahabat Sankara. Diluar kegiatan internal seperti itu, mereka juga menyewakan galeri ini untuk memfasilitasi seniman lokal dari seluruh penjuru Pulau Dewata memamerkan hasil karya seni mereka baik lukisan, ukiran, maupun seni tari dan pertunjukan.

Hari itu, wira yang akrab disapa dengan panggilan “San” itu duduk di salah satu cafè yang cukup terkenal di daerah Seminyak, ada meeting, katanya. Biasa lah, meeting dengan Wikolia, rekan kerja sekaligus sahabat dekatnya.

“Jadwalnya sih minggu depan Pak Made mau bikin pameran seni patung. terus seninnya ada pagelaran Ramayana di pelataran galeri,” Wikolia memeriksa planner biru tua nya.

“Pokoknya lo atur aja, Wik. Gue percaya sama lo,” San mengangguk sambil mengetik di laptopnya.

“Lu bikin apa lagi?” tanya Wikolia sambil mengintip layar datar yang menyala di hadapan sahabatnya itu.

“Biasa, art essay buat pameran lukisan gue sama Kak Devi, akhir bulan ini. berarti lo jangan atur ada yang sewa galeri pas akhir bulan ya, Wik,” San berujar tanpa mengalihkan matanya dari layar datar laptopnya.

“Kalau gitu mulai sekarang harus atur biaya retribusi masuk ke galeri untuk acara lo, San. Terus juga atur acara auction, lukisan lo dan Kak Devi harus dapet apresiasi lebih kata gue,” celoteh pemuda yang kerap disapa Wiko ini membuahkan kekehan gemas dari San yang masih repot dengan essay nya.

“Jangan lupa sebar undangan. Terutama buat keluarga Hanafi, yang di Buleleng. Mereka kayaknya rekan kerabat almarhum Bapak. jadi gue harus undang mereka juga,” San kini beralih membaca daftar undangan yang tertulis di dalam buku planner kulit vintage dengan ukiran timbul bertema pelaut dan gantungan emas berbentuk jangkar miliknya.

“Alah, bilang aja lo pengen ketemu anaknya Pak Hanafi. Siapa tuh, Hestia?” Sebenarnya ucapan Wiko barusan ada benarnya juga, tak sepenuhnya salah.

San pun tak memungkiri bahwa ia ingin bertemu dengan Hestia lagi. Sudah hampir dua tahun pasca kepergian Bapak dan sepanjang waktu itu lah ia tak pernah bertemu dengan Hestia lagi. Hestia dan ayahnya datang ke acara upacara Ngaben almarhum ayahnya San dua tahun yang lalu. Dan hanya hari itu sekalinya San bertemu dengan si cantik Hestia. Gadis yang penuh dengan sejuta kehangatan dan kecantikan yang tak lagi dapat digambarkannya dengan kata-kata.


Tekanan deadline semakin menekan pemuda tampan berambut kebiruan itu di minggu-minggu menjelang pameran dan pelelangan hasil karyanya dan sang kakak. San masih mendekam di ruang kerjanya malam itu. Padahal semua karyawan, tak terkecuali Wiko sudah meninggalkan ruangan itu sejak tadi.

“San, pulang deh. udah ditunggu sama ibu,” Devi masuk ke ruang kerja Sankara sambil membawa kue yang baru saja dibelinya dari salah satu toko croissant yang cukup terkenal di Bali.

“Entar, kak. Gue masih repot ngurus art essay buat pameran akhir bulan. Besok malam, tolong kurasi lukisan yang mau dipamerin sama dilelang juga, kak.” Sankara menggeleng. Tenaganya sudah terkuras untuk acara ini.

“Lo tuh bebal banget sih jadi orang,” Devi mulai kesal melihat adiknya yang keras kepala dan lebih memilih mengerjakan semuanya sendirian.

“Masalahnya tim kita udah nguras tenaga mereka buat acara-acara yang bakalan pake space di galeri kita sampe akhir bulan nanti. Gue ga mau repotin mereka lagi, Kak. Lo duluan aja kalo memang mau balik ke rumah. Gue entar kayaknya ke Alila aja, nginep di sana, lebih deket sama kantor,” Sankara membalas omongan kakaknya sambil merapikan barang-barangnya ke dalam tas kulitnya.

“Ketemu lah, sekali aja sama ibu. Apa lo masih segitu marahnya sama ibu?” tanya dara bersurai hitam legam yang masih setia berdiri di sampingnya.

“Kak, gue tuh ga dilihat sama ibu. sampai kapan pun, beliau ga akan ngelihat gue sebagai anak yang membanggakan,” Sankara menghela nafasnya. “Sejak gue mutusin buat ngurus galeri ini, ibu selalu membandingkan gue dengan anak-anak temen-temennya tanpa henti. gue ga suka dibandingin, kak.”

“San, temui ibu, lah. barang sekali aja. Lo juga anaknya ibu,” pinta Devi.

“Kak, maaf. gue nggak siap kalau ibu harus mengeluarkan jurus itu lagi. Gue balik ke hotel hari ini. mungkin dalam sebulan ke depan, gue akan stay di hotel,” San menggeleng mantap.

“Fine, terserah lo. Jangan lupa makan. Hasil kurasi lukisan bakal gue update di dropbox paling lambat tanggal 20, ya,” Devi keluar dari ruangan Sankara, menyerah mengajak adiknya pulang dan berbaikan dengan ibunya.

Thanks, Kak,” Sankara mengangguk pada kakaknya dan membukakan pintu untuk sang kakak.


17 November 2021,

Hasil kurasi Devi sudah diserahkan pada Sankara via surel. Devi dan Sankara masih ada dalam suasana saling mendiamkan satu sama lain. Sankara masih keras kepala dan enggan menemui ibunya sementara Devi merasa ia sudah cukup memberikan adiknya ruang selama 2 tahun belakangan untuk menata hatinya dan membuka hatinya untuk sang ibu. Niat Devi baik, sebenarnya. Namun, apa daya Sankara terlanjur sakit hati pada ibunya dan belum bisa memaafkan ibunya atas kata-kata yang sama sekali jauh dari dukungan dan restu pada sang ananda yang terlontar sepanjang 2 tahun belakangan ini.

Siang itu, Sankara memutuskan untuk menenangkan dirinya di hamparan pasir putih Pantai Nunggalan. Salah satu pantai kesukaannya. Pantai yang harus dicapainya dengan menuruni bukit terjal dengan trek yang cukup menantang. Namun, semua kesulitan untuk mencapai pantai itu terbayar ketika San menginjakkan kakinya di hamparan pasir putih yang menenggelamkan sepatunya. Indah, hanya itu kata yang muncul di dalam pikiran San ketika ia melihat hamparan pasir putih dihiasi sedikit bebatuan, laut biru yang masih bening dan berkilau, membiaskan sinar matahari yang menyorotnya dari atas langit.

San menghirup aroma laut dan menutup matanya, menikmati hembusan semilir angin yang menerpa wajahnya. Ia tak menyadari ada seseorang berdiri di sampingnya, menikmati setiap hembusan angin.

“Indah ya,” Suara perempuan di samping Sankara membangunkan pemuda itu dari kenikmatan suara ASMR hembusan angin dan debur ombak yang memanjakan telinga sang adam.

“Hmm, iya,” San memicingkan kedua matanya. Rasa-rasanya, ia mengenali sosok gadis di sebelahnya.

“Sankara?” Gadis itu mengenali sosok Sankara ketika kedua pasang manik mata mereka bertumbuk pandang.

“Loh, lo tau nama gue. But yes, I'm Sankara. Lo... Hestia?” tanya San, takut-takut ia salah mengenali wajah manis di hadapannya.

“Aku Hestia,” si surai keemasan itu tersenyum dan mengangguk. “Apa yang membawamu ke sini?” tanya Hestia sambil menatap San. Ia tahu ada badai di situ, di mata pemuda yang berdiri di sampingnya.

Sankara menggeleng. “It's not a big deal. Just mommy Issue,” tukas pemuda itu sambil tersenyum, sedikit dipaksakan. Siapa pun akan menyadari kalau senyum barusan terpaksa, meski wajah Sankara nampak manis sekali dengan cekungan yang terpatri di kedua pipinya.

“Aku nggak tahu masalahmu dengan ibumu. Tapi, tenangkan hatimu. Percaya lah, aku juga menghadapi hal yang sama. Semua pasti berlalu, Sankara,” Hestia menatap wajah Sankara yang nampak begitu indah ketika sinar matahari menyorot ke arahnya.

“Gue mau percaya hal itu. Tapi udah dua tahun, Hes. Dan Ibu masih begitu aja,” Sankara memandang lurus ke arah laut, berharap riak ombak dan semilir angin dapat menghapus segala kekhawatirannya.

“Semangat, San! Kamu punya acara besar di depan mata. Tunjukkan ke tante bahwa kamu sungguh-sungguh mau mengelola galeri yang diwariskan Om buat kamu,” ucapan Hestia barusan bagaikan siraman air dingin di teriknya matahari siang bagi pemilik nama Sankara Khalik Semesta itu.

“Mau turun?” ajak San, menawarkan tangannya pada sang dara manis di sampingnya.

Hestia menyambut tangan San dan mensejajarkan langkahnya. Bersama dengan pemuda tampan juga tinggi di sampingnya, gadis itu berlari menyambut deburan ombak yang pada akhirnya beriak dan menyapa kedua pasang kaki mereka.

Pertemuan pertama, setelah puluhan minggu keduanya tak bertemu. Tak dapat dipungkiri, Semesta pun mengambil andil dalam pertemuan kala itu. San dengan kemelut hati dan pikirannya tentang pembuktian diri, Hestia dengan kekalutan tentang masa depan yang masih ditutupi kabut buram di hadapannya.


Setelah kejadian di pantai hari itu, San dan Hestia semakin akrab. Keduanya sering bertukar pesan dan menghabiskan waktu mereka bersama kurang lebih satu minggu dua hari, terhitung dari pertemuan yang lalu. Tak jarang Wiko menjahili San lantaran selama ini belum ada sosok perempuan yang bisa membuat hidup Sankara keluar dari meja kerjanya. Devi mencoba membantu Wiko membuat San beranjak dari tempat kerjanya, tapi NIHIL, tak berhasil. Satu-satunya yang bisa membuat semua orang takjub karena akhirnya pemuda berlesung pipi itu akhirnya dapat meninggalkan meja kerjanya juga easel nya untuk rehat sejenak.

Acara pameran dan pelelangan itu semakin dekat. Atmosfer di kantor sudah semakin mencekam. Tak jarang para pegawai menemukan San dan Wiko bertengkar. Sebenarnya pertengkarannya tidak hebat. Hanya karena keduanya tertekan akibat waktu yang semakin dekat dan proses persiapan final yang semakin membuat otak dan otot mereka kejang-kejang. Melihat kondisi itu, Devi mengambil andil untuk menghubungi Hestia. Mana tahu gadis itu bisa membantu meredam emosi Sankara yang makin lama makin memanas itu.

“Lo tau kan Wik, ini udah 4 hari menjelang pameran? Kenapa semua lukisannya masih belum digantung? Apa perlu gue yang gantung semuanya?” Sankara meninggikan volume suaranya.

“Harus gue juga yang gantungin emang?” Wikolia tak mau kalah dan mengeraskan suaranya.

“Wik, tangan gue cuma dua. atau perlu gue cari Dewi Durga buat bantu gue nyelesaiin ini semua dalam semalam?” ujaran Sankara kini semakin dingin dan tajam. Seluruh ruangan itu paham betul ketika San menurunkan volume suaranya, menutup matanya dan kemudian membuka kedua mata untuk menatap tajam ke lawan bicaranya, itu artinya San lagi diserang panik.

Dari ujung ruangan muncul seorang gadis cantik dengan mata kecoklatan, menghampiri San dan melempar tubuhnya ke tubuh San. Tangan San otomatis menyangga pinggang ramping sang gadis. “Kok lo bisa di sini sih, Hes?” tanyanya pelan, mata tajamnya kini melembut sambil mengecup sisi kanan wajah sang gadis.

“Kak Devi nelfon aku tadi. Katanya panik mu kumat,” kekeh Hestia. “Wiko, aku pinjam San sebentar. Debatnya lanjutin nanti aja,” ujar gadis itu sambil menarik tangan San menjauh dari Wikolia sebelum terjadi baku hantam diantara mereka.

Hestia menarik lengan San pelan menuju ke dalam ruangan pribadinya. San kemudian duduk di kursinya dan Hestia berdiri di hadapannya. Gadis itu menangkup wajah sang adam sementara sang adam mengangkat kepalanya sedikit untuk menatap Hestia.

“San, tenang,” Hestia menarik bangku dan duduk di depan pemuda tampan itu. “Masih ada 4 hari lagi. Ada aku dan Kak Devi. kita bisa bantuin kamu pasang-pasang lukisannya. Sekarang kita ke pantai sebentar yuk. cari udara segar,” ajak Hestia.

Sankara hanya mengangguk pelan dan melayangkan sebuah pelukan serta menyandarkan kepalanya di bahu Hestia. “Makasih,” hanya itu yang meluncur keluar dari labia pemuda 176 cm yang tengah memeluk Hestia itu.

Hestia hanya mengangguk dan tersenyum sambil membelai rambut kebiruan Sankara. “Aku yang setirin aja, ini udah hampir setengah enam, mau ke Finn's aja?” Tanya gadis itu yang langsung dibalas anggukan dari yang ditanyai.

Tak berapa lama waktu berjalan setelah keduanya bertolak dari kantor Sankara menuju Finn's Beach Club yang terletak di Canggu, tiba-tiba ponsel Sankara berbunyi, ada telepon masuk dari sang kakak.

“Halo,” Sankara menjawab panggilan tersebut.

“San, Lukisan lo hilang satu, gue dan Wiko baru aja mau mulai gantung-gantungin di galeri. Tapi lukisan lo yang mau kita lelang salah satunya ada yang hilang,” kepanikan tersirat dalam suara Devi.

“Yang mana, kak?” San menegakkan posisi duduknya mendengar berita dari Devi barusan.

“Yang gambar ada bapak-bapak lagi main sama 2 anak,” suara Devi bergetar.

“Kak, nggak usah nangis. gue juga kaget. lo coba tenangin diri lo. HP nya kasih ke Wiko dulu. Gue ngomong sama dia dulu,” Sankara memberikan instruksi.

“Halo, San,” Ponsel beralih ke tangan Wikolia yang sama paniknya dengan Devi yang kini terduduk lemas di tengah Galeri yang sedang ditata oleh beberapa staff yang merupakan teman-teman dekat dari Sankara dan Devi.

“Lo ke ruang kontrol sekarang, ambil rekaman kamera 11 sama 17, itu kamera cctv di tempat penyimpanan semua lukisan gue. kalo gak ketemu, minta rekaman kamera 18 sama 24,” setelah menghela nafas, ia memberikan runut langkah dan mencoba menghilangkan panik dalam suara Wiko.

“Wik, tenang ya. Jangan ikutan panik. Kasian kakak kalo ngeliat semua orang ikutan panik,” San menambahkan.

“Oke, nanti gue chat lagi ya, San. Gue bakal ke ruang cctv sama Marcell sekarang,” Wikolia mengangguk mantap dan menarik nafasnya.

“Minta Yosia temenin kakak gue. Dia yang paham sama cara nenangin kakak. Gue percayain galeri sama lo. Gue balik lagi ke galeri sekarang,” San menutup pembicaraannya di benda pipih yang dipegangnya.

“San, ada apa?” Hestia bertanya sambil menatap sosok yang mengusap kasar wajahnya dan memutar setir untuk kembali ke tempat kerjanya.

“Lukisan gue yang mau dilelang di acara auction 4 hari lagi hilang satu, Hes,” San menginjak pedal gas dan dengan itu mobil meluncur di kecepatan 80 hingga 100 km per jam.

“SANKARA, MINGGIR!” kali ini Hestia menjerit sambil meremas lengan kiri San.

San menepikan mobilnya di sebelah kiri jalan dan berhenti sejenak.

Please, kamu bawa penumpang. Aku tahu kamu sepanik itu sekarang. Aku tahu itu hidup-matimu yang kita bicarakan. Tapi bisa kah kita pelan-pelan aja di jalan raya? ini jalannya ramai loh,” Tanya Hestia sambil menatap wajah Sankara yang sarat akan kekhawatiran dan kepanikan. “Kalau kamu nggak bisa menjernihkan pikiranmu, ada baiknya kita tukeran dulu. Aku yang setir, kamu yang duduk di sini.”

Irama jantung San kini kacau, peluh juga membasahi kening dan wajahnya, Tangannya juga dibasahi peluh. San tak bisa berbicara, hati dan pikirannya kacau. Terlebih Hestia tahu hal itu.

Ponsel San kembali berdering. Kini ada panggilan masuk dari Wikolia. Nampaknya Wiko sudah berada di ruang CCTV dan ia berhasil menemukan siapa tersangka dibalik pencurian lukisan Sankara itu.

“Iya, Wik,” suara San terdengar lemas, hampir tak bernyawa.

“San, Marcell berhasil buka arsip dari kamera yang lu sebut tadi. Gue udah teliti footage selama 48 jam terakhir. Lukisan lo diambil sama Yonas Arjuna Christiano, anak finance. Gue sama Marcell udah make 'Find Iphone' buat ngelacak jejak Yonas. Gue juga udah hubungin HR buat mastiin ada sanksi buat dia. Lo tenang aja,” jelas Wiko.

San hanya bisa menghembuskan nafas lega. Akhirnya satu masalah terselesaikan. Kurang lebih 1 jam perjalanan, San dan Hestia tiba di galeri. Devi masih beristirahat di ruangannya, Wiko dan Marcell ada di ruang rapat, membahas segala kemungkinan yang terjadi. Di ruang rapat sudah ada beberapa orang polisi rekan Marcell yang berhasil menangkap sang pelaku yang berhasil membuat semua orang panik dan ketakutan.

“San,” Yonas menatap Sankara dengan tatapan memelas.

“Gue nggak mempan sama muka lo, Yon. Jujur banget gue kecewa. Gue takut lo akan ngehancurin galeri pemberian ayah gue kalo lo ada disini,” aroma kekecewaan kental tercium dari setiap kata dan kalimat yang meluncur keluar dari labia merah Sankara.

“Yon, gua rasa lo harusnya sadar. dari awal, tindakan lo itu salah. di balik semua nilai seni di lukisan itu, lukisan itu punya cerita buat Kak Devi dan Sankara. Lo serakah,” Marcell menambahkan.

“Jujur gue kecewa sama lo, Kak,” kali ini suara muncul dari oknum jangkung berkulit seputih susu yang baru masuk ke ruang rapat. Soma Abiandra namanya.

“Lukisannya kami kembalikan ke galeri ini. Tapi tersangka akan kami tahan sampai ada tebusan dari keluarga atau kerabat,” Polisi itu menegaskan.

“Baik, pak,” Sankara mengangguk.

“San, Please,” Yonas memohon pada Sankara.

“Bawa aja, pak. biarin dia jera,” Wiko mengisyaratkan pada 2 aparat tadi dan segera menangkap tubuh sahabatnya yang limbung.

Wajah Sankara pucat pasi. satu alasannya karena ia belum makan sejak pagi tadi. Yang kedua, insiden hilangnya lukisan itu membuatnya benar-benar kehabisan energinya.


4 hari kemudian,

Hari H pelaksanaan Pameran dan pelelangan lukisan Devi dan Sankara...

Setelah kejadian hilangnya lukisan dan hukuman setimpal yang didapat oleh Yonas, akhirnya acara pun berlangsung. Galeri Lukisan Dewata kini dipenuhi pengunjung baik undangan rekan-rekan dan kolega keluarga besar Almarhum Gede Satya Mahadewa, maupun turis-turis lokal dan mancanegara yang akhirnya terhipnotis ke dalam euforia suasana galeri yang didekorasi sedemikian rupa.

Pameran kali itu juga diramaikan oleh permainan musik dan nyanyian dari band indie tempat Marcell bernaung sebagai bassist. Suasana jadi semakin hidup dengan lagu-lagu yang menemani pengunjung menelusuri setapak-demi setapak perjalanan cerita setiap lukisan Devi dan Sankara. Lukisan bertema sepanjang jalan kenangan, mengenang Almarhum Bapak. Membuktikan ke Ibu kalau Devi dan Sankara membaktikan hidupnya untuk menghidupkan kembali Galeri Bapak yang sudah sekian lama dirintis dan dibesarkan namanya oleh Bapak dan rekan-rekan senimannya.

“Semoga dengan pameran dan pelelangan kali ini, Ibu paham kalau San meninggalkan hidup mapan San di Jakarta karena San ada hutang janji membesarkan galeri Bapak seperti sekarang,” Ungkap San dalam hati diiringi senyum.

Di sampingnya, Hestia mendukungnya dengan menggenggam erat tangan Sankara dan berjanji. Suatu saat nanti, Kalau Sang Pencipta Semesta berkenan, ia akan menemani Sankara mengarungi 7 Samudra bersama-sama.


3.237 words — 11/17/2021 17:09