#2-Let Me Walk With You [kisah ini, dilihat dari mata seorang Bintang]


Udah beberapa hari ini aku bertukar pesan dengan puan misterius yang kutemu di tangga selepas latihan beberapa hari yang lalu. karena aku nggak tahu posisi loker gadis itu, aku selalu menempel surat balasan darinya di lokerku dan berharap gadis itu mampir ke lokerku dan membaca balasanku. Hari itu, aku tercekat membaca surat darinya. Aku tak bisa spontan membalas surat yang baru kuterima itu.

Kalau aku jadi gadis itu, aku pasti nggak akan bertahan sampai saat ini. Di otakku sekarang, aku hanya bisa bertanya 'Mengapa semesta begitu jahat pada gadis secantik dirinya?' 'Mengapa dunia seakan membalikkan punggungnya terhadap gadis berparas rupawan seperti dirinya?' Aku duduk di bangkuku sambil menatap surat itu dengan alis tertaut. Aku bahkan nggak sadar ada Shandika di sampingku.

'Tang, Bintang. Bumi memanggil Bintang!' Shandika menggerakkan tangannya di depan wajahku.

'Hah? Kenapa, Shan?' tanyaku sembari menatap Shandika dengan tatapan bingung.

'Lo kenapa sih, Tang. Dari tadi ngelamun aja?' Tanya Setiadi.

'Sejak lu terima surat itu di loker lu, kayaknya lu mikirin isi surat itu terus,' imbuh Yulio, si jangkung yang duduk di bangku belakangku.

'Pasti cewek di tangga yang waktu itu lu kejar pas latihan kan?' Tebak Yesaya. 'Dia cantik, Tang. Cuma, yang gua tau semua orang ngejauhin dia karena ada fake rumor tentang dia,' Jelas Yesaya lagi.

'Dia satu sekolah minggu sama gue, Yes. Kasihan.' tukas Yonathan yang tengah menopang mejanya sembari duduk menghadap meja ku.

'Anjir, lo kenal dia, Yor?' celetuk Shandika.

'Emang gimana cerita aslinya?' tanyaku sambil menatap Yonathan, yang kami panggil dengan sebutan “Yori” itu, dengan tatapan super kepo.

'Namanya Tiana. Dulu, dia ceria banget, pecicilan. tapi dia sempet suka sama temen satu kelas kita. nggak lama, si cowok itu ngatain dia dengan sebutan yang ga pantes, dan dia mukul orang itu. yang gue tau habis itu, dia dimusuhin semua temen-temen di gereja karena mukul tuh orang,' Yonathan bercerita. 'Di SMP kita dulu, salah satu gengnya si cowok ini nyebar berita jelek tentang Tiana. dan sejak itu semua orang benci Tiana,' Lanjutnya.

'Maybe that's why,' aku mengangguk pelan, aku ingat luka di tangannya. banyak bekas goresan yang sudah berbentuk bekas luka maupun yang masih baru dan memerah.

'Ada apa, Tang?' tanya michael yang mulai kepo.

'Nevermind. gue cuma sedang mengaitkan cerita Yori dan apa yang gue liat waktu gue ngejar dia kemarin.' Jawabku sambil menggeleng. 'Anyways, lo kenal orang tua atau sodaranya gak, Yor?' aku bertanya.

'Apparently, yes. gue deket sama kakaknya. tapi kayaknya kakaknya ga gitu deket juga sama Tiana,' Jawab Yori dengan gelengan.

'Dia butuh pertolongan,' imbuhku singkat sambil kembali sibuk menulis di atas selembar kertas. diikuti dengan lirikan bingung dari semua temanku.

Tak lama sebelum bel berbunyi, Kirana, teman sekelasku, berlari masuk ke dalam kelasku dengan wajah panik dan pucat pasi. Setiadi yang dekat dengan Kirana berlari mendekat.

'Ki, kenapa?' tanya Setiadi sembari menangkap tubuh Kirana yang limbung.

'Adi, darah, toilet cewek,' samar-samar terdengar suara Kirana yang di dalamnya tersirat ketakutan. Di otakku saat ini cuma terfikir gadis yang baru saja diceritakan oleh Yori.

'Tiana,' aku langsung berlari ke toilet yang dimaksud oleh Kirana dan dikejutkan dengan seorang guru yang membopong tubuh gadis berambut panjang yang kini tangannya tertutup perban yang cukup tebal, baju dan rambutnya basah. aku segera berlari ke kelas untuk mengambil ransel dan kunci motorku.

'Tang mau ke mana?' tanya Shandika sambil menahanku pergi.

'Ke rumah sakit. gue bolos hari ini. urgent.' ujarku sambil menyampirkan tas di bahu.

'Gue berhasil nyingkirin dia,' terdengar olehku obrolan sekelompok anak perempuan di koridor. 'Untuk sementara dia musnah,' Tawa sinisnya membuat emosiku membuncah. Dengan langkah gusar aku pergi menjauh dari mereka sembari mengepalkan tanganku erat untuk menahan amarahku.


Aku menawarkan diri untuk menggantikan guru-guru, yang sebenarnya hanya ingin menguliahi Tiana dengan kata-kata mutiara mereka yang sebenernya nggak terlalu diperlukan oleh gadis itu saat ini, menjaga Tiana yang belum sadarkan diri. 'Maafin gue, Na. gue terlambat tau tentang lo.' ujarku dalam hati. aku duduk di samping ranjang tempat Tiana terbaring saat itu. luka di pergelangan tangannya sudah dijahit. namun, tetap saja, menatap luka itu membuat hatiku ngilu.

'Tiana, gue tau lu lelah, gue kan udah bilang lo boleh bersandar sama gue kalau lu capek,' ucapku sembari menggenggam tangannya yang nggak terluka dengan kedua tanganku.

'Maafin gue, ya? gue terlambat tau semua ini. gue tau di saat lu udah lompat dari tebing itu,' bisikku lagi.

'Bahu gue akan selalu ada buat lo. lo nggak sendiri,' Kugenggam tangan itu sambil menatap wajah Tiana yang nampak berpikir dalam tidurnya. alisnya masih tertaut.