#01- If I told you with a crying face that I am having a difficult time would it be better?
“I'm sorry, it's my fault, thank you. It's all because of me.” – Lonely (Jonghyun x Taeyeon)
SMA KQ, ku pikir dengan pindah ke sekolah ini, aku bisa membuka lembaran baru dan menutup masa kelam SMP-ku yang penuh luka. Nyatanya semua itu terulang lagi. Lagi-lagi aku sendirian. Lagi-lagi seluruh dunia membenciku. Kenapa dunia ini nggak adil? Kenapa dia yang menyebar kebohongan tentangku diberikan teman yang banyak bahkan pengikut yang dengan setia membuntutinya kemanapun.
Kalau boleh minta sama Tuhan, aku mau minta mati saja. aku nggak kuat dengan semua cobaan ini. Katanya pencobaan itu nggak akan melebihi kekuatanku. tapi kenyataannya apa? Tak jarang aku pulang degan luka baru yang selalu kututupi dengan jaket ataupun jas almamater. Aku berusaha supaya papa dan mama nggak apa perlakuan teman-teman terhadap aku. meskipun aku nggak tahu aku salah apa, aku harus lebih dulu minta maaf supaya mereka nggak menghinaku.
Rasanya, aku sendirian. nggak ada yang berpihak padaku. aku hanya bisa merasa nyaman ketika aku berlari mengelilingi lapangan atletik, ditemani semilir angin sore, seperti hari ini. sepulang sekolah, aku menenangkan pikiranku dengan berlari di lapangan lari. Hari ini, tim futsal sekolahku sedang mengadakan latihan rutin dan kebetulan aku sedang duduk di dekat situ, menatap ke lapangan sepak bola.
Di sana ada Bintang, kapten tim junior SMA kami. Sosok yang diidolakan seluruh siswi di kelasku. Sosok yang bersinar terang seperti bintang kejora. Sosok yang diluar gapaian tanganku. siapakah aku? Aku hanya seorang siswi yang dijauhi dan dibenci karena alasan yang bahkan mereka nggak tahu apa itu. Hanya sekedar karena terpengaruh dengan hasutan orang lain.
Entah berapa banyak air mataku yang telah terbuang sia-sia. dadaku sesak. kedua tanganku penuh goresan luka akibat pelampiasanku. Aku duduk di pinggir lapangan sambil meneguk air dingin dari termos minumanku. Setelah itu, aku kembali menatap ke gerombolan anak laki-laki yang berlarian di di lapangan sepak bola. Senyum seorang Bintang membuat aku sedikit lega. tak lama kemudian aku berdiri dan mengangkat tasku. Pergi meninggalkan lapangan itu, menuju ke UKS untuk menutup semua luka di tanganku.
Rasa perih menjalar ke sekujur tanganku. Keringat yang membasahi sekujur tubuhku dan membasahi luka-luka sayatan yang masih baru di tanganku terasa sangat perih. langkahku terhenti di koridor tempat tangga menuju ruang UKS, aku terduduk di tangga itu cukup lama. awalnya untuk mengistirahatkan kakiku dan menghilangkan sensasi perih yang menjalar di kedua tanganku. Kepalaku tertunduk. Awalnya itu hanya perih yang menyengat di permukaan kulitku. tapi kenyataanya perih itu menjalar ke hatiku juga. aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku dan menangis, tanpa suara.
Ku kira aku sendirian tapi... tap, tap, tap terdengar langkah kaki yang makin lama semakin mendekat ke arahku. aku buru-buru menyeka air mataku. aku nggak begitu tau siapa yang mendekat ke arahku. mataku masih dipenuhi dengan air mata saat itu. Ia menghampiriku dalam diam. nggak ada suara yang keluar dari mulutnya. tapi aku merasa ada sesuatu menutupi punggungku. nampaknya orang itu duduk di sampingku.
'Maaf ganggu lo. tapi di sini udah nggak ada siapa-siapa. kenapa masih di sini?' tanya sang pemilik suara itu.
'Nggak papa. bukankah gue pantes sendiri? seperti kata anak-anak yang lain, gue nggak pantes punya temen. gue aneh,' aku nggak tahu apa yang ada di otakku sampai tiba-tiba aku memuntahkan semua yang selama ini kusimpan sendirian.
'Kita nggak saling kenal kayaknya. tapi maaf kalau mereka menganggap lo gitu. gue disini. gue bersedia denger cerita lu,' dari suaranya yang lembut, aku tahu dia tulus melakukan itu. aku bisa merasakan tangannya yang besar menyelimuti tanganku yang penuh goresan. 'Jangan sakitin diri lo lagi.'
'Kenapa?' itu yang keluar dari mulutku ketika mendengar dirinya berfilosofi seperti barusan. 'Kenapa lu ikutin gue? kenapa lu mau bicara sama gue?' kepalaku masih tertunduk tapi aku bisa merasakan tangannya dengan lembut mendorong daguku agar sejajar dengan tatapan matanya.
'Mulai sekarang, gue mau denger segala keluh kesah lu. lu nggak sendiri. Nama gue Bintang,' ungkapnya sembari menghapus air mataku. 'Jaketnya pake dulu aja. di luar dingin. gue masih ada latihan. selagi masih terang pulang ya? orang tua lu pasti khawatir.'
Ia mengantarku ke gerbang sekolah, bahkan mencarikanku taxi online. Terima kasih, Bintang.